Bagas selama ini memang terkenal tak mau kalah soal pembicaraan apapun, dia merasa paling pinter, paling sangar, meski teman-temannya malah menganggap dia lucu. Hampir setiap hari dia cerita soal (konon) pengalamannya berkelahi dan omong kososng soal keberaniannya. Ibaratnya, kayak singa yang mengaung di dalam arena sirkus, dan penontonnya tepuk tangan.
"Bagas ki wong paling pinter sak dunia. Yen kalah argumen, ngakune infone soko intelijen. Geleme menang terus. Garek diiyoni rakwis. Nggeh, leres, jenengan dao.. jos.. Ben meneng," saran Rudi kepadaku saat Bagas sedang izin buang air kecil di dalam rumah.
Saya memang enggan menjawab pertanyaan itu, karena terlalu melelahkan untuk diperdebatkan. Sebagai mahasiswa ilmu hukum yang belum lulus serta kader organisasi kepemudaan, saya lebih tertarik membicarakan hal seng ndakik-ndakik, ya politik tentunya hehehee.
Apalagi saat ini, menjelang Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Semarang 2024, peta politik di kota ini semakin beragam dengan munculnya beberapa bakal calon yang berasal dari luar Kota Semarang.
Fenomena ini sebenarnya juga sama rumitnya dengan perdebatan yang tidak pernah usai tentang kelezatan kuliner seperti yang disampaikan teman saya Bagas. Meski bagiku sebagai orang yang lahir dan tinggal di Kota Semarang, "Soto Semarang lebih enak dari soto Betawi".