Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Kesatria?

7 April 2013   06:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:36 181 0
Kesatria?

Matanya terbelalak, ya bocah bau kencur itu melongo. Terbata-bata dia menjawab pertanyaan yang dilontarkan gurunya.

"ee eee eeee, anu anu itu bu," kata Dimas menjawab pertanyaan sang guru apa yang tengah dilakukannya di kelas.

Tangan Dimas gratakan, apapun dia pegangi. Gugup. Panik. Kepalanya yang berambut tipis keluar bulir-bulir keringat jagung. Matanya tak fokus dengan tatapan sang guru, blingsatan mencari pembenaran dan pembelaan.

"Apa yang kamu lakukan?" tegur guru perempuan berjilbab itu sekali lagi.

Dimas tertunduk sesaat, lalu menengadah. Dia menjawab seadanya sembari matanya terpejam.

"Aku nyontek bu," teriaknya dengan suara yang memecah ketenangan kelas saat itu. Keras sekali suaranya saat itu hingga membuat murid lain ikut terbelalak.

Dimas lalu menangis. Kedua tangannya menutup mukanya. Kepalanya ditundukkan ke meja. Kertas ujiannya pun diremas kuat-kuat. Lecek.

Sang guru pun menghampiri. Kepala Dimas diusapnya. Bahu Dimas ditepuk-tepuk. "Kamu boleh keluar," ujar sang guru sambil merundukan tubuhnya.

Tangis Dimas makin kencang. Bocah berumur 8 tahun itu menendang-nendangkan bangku dan memukul-mukul mejanya. Seakan protes dengan ucapan sang guru.

"Kamu tidak boleh menyelesaikan ujian mu, kamu boleh pulang," ucap sang Guru sambil mengambil kertas lembar jawaban dan merobeknya.

Dimas pun berdiri, bergegas membereskan alat tulisnya. Sekali rambet semuanya rapi dimasukan ke kotak pensilnya. Tas bergambar "angry bird" langsung digendongnya. Dia langsung beranjak dari bangkunya.

Satu langkah dari bangkunya, Dimas merogoh saku celana pendeknya. Sebuntelan kertas kecil dari sakunya, dilempar ke mejanya. Kekesalannya tampak dari wajah bocah bergigi ompong itu ketika melempar itu. Dimas pun berlari meninggalkan tempat ujian.

Sang guru cuma bisa menggelengkan kepalanya sambil menyimpulkan senyum. "Hati-hati, jangan berlari nanti kamu jatuh," ujarnya. Seakan acuh, Dimas tetap berlari dengan bekas air mata di pipinya.

Mengakui kesalah merupakan hal yang kesatria. Namun perlu dilihat konteks yang terjadi. Salah setelah ketahuan? Atau Mengaku sebelum ketahuan? Akan beda persepsi di setiap kepala untuk kedua hal itu.

Kata "Kesatria" belakangan ini naik pamor. Insiden di Sleman, Yogyakarta mengumandangkan kata-kata itu. Saat seorang Jenderal TNI-AD di depan media mengatakan dengan tegas, "Pelaku penyerangan LP Cebongan, Sleman adalah Anggota kami. 11 orang anggota kami yang berasal dari Komando Pasukan Khusus Group II Kandang Menjangan, Solo."

Alasannya penyerangan LP itu sendiri terjadi lantaran komandan mereka dibunuh. Jiwa Korsa - rasa senasib dan sepenanggungan - tumbuh dan aksi tersebut pun terjadi.

Penyerangan ini sendiri terjadi dua pekan sebelum pengakuan sang Jenderal muncul. Namun, sejumlah tudingan TNI pelakunya muncul beberapa jam setelah penyerangan tersebut terjadi. Tapi? Tidak ada pengakuan sama sekali, bahkan pembantahan yang muncul. Alasan klasik sang Jenderal saat dimintai komentar soal itu adalah karena belum adanya cukup bukti.

Dimas memang tertangkap tangan oleh sang guru. Tudingan sang guru pun tepat dan Dimas pun tidak bisa berkutik hingga akhirnya harus mengaku. Sementara anggota TNI? Tudingan, analisis, serta perkiraan terus dimunculkan, tapi baru mengaku belakangan, setelah ada tim investigasi dari mana-mana.

Kesatria?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun