Mata perempuan itu menatap senja yang menjingga, tangan kirinya yang tak rapat mengenggam pasir membuat pasir putih itu bergulir deras dari sana. Kepalanya sesekali menengadah ke birunya langit sore itu, sesekali menundukkan ke pasir putih. Godaan ombak tak bisa mengusirnya dari tempat ia berdiri. Ia sedang asik menikmati kesendiriannya.
Perempuan itu berjalan perlahan ke lautan. Gaun yang menambah kecantikkannya pun ikut basah bawahnya. Ia berjalan terus, sampai air serata dengan perutnya, dan menenggelamkan kepala yang terdapat wajah yang cantik.
Setelah basah seluruh rambutnya, ia mendengakkan kepalanya mirip iklan sampo di televisi. Percikkan air melompat-lompat dari juntaian rambutnya dan ia kembali menatap mentari yang sedari tadi memperhatikan tingkah perempuan itu.
Gelap semakin gelap, mentari pun entah main dimana, si perempuan masih dengan keegoannya berdiri mematung di sana, masih dengan air seperutnya. Angin malam juga sudah menusuk-nusuk dada ini, aku yang bertelanjang dada sudah tak kuat bercanda dengan angin malam dan memutuskan bangun dari posisi rebah ku.
Ku ambil tikar yang terbuat dari alang-alang yang menjadi alas rebah ku, ku gulung ia bak risol raksasa dan ku melenggang dari tempat itu sembari sesekali menoleh ke wajah cantik perempuan bergaun biru itu. Beberapa kali toleh dan terus menoleh, hingga ku rasakan aku tak mau kehilangan wajah cantiknya. Dan aku memilih berlabuh ke sebuah warung kecil di pinggir pantai, tak jauh dari tempat ku merebah dan dari warung itu pun aku masih bisa melihat keberadaan perempuan yang masih mematung setengah basah di sana.
Ku pesan air jeruk dingin dan sebakaran roti isi coklat kepada bapak berkumis tebal si mpunya warung. Ku duduk di bangku panjang dengan posisi sila satu kaki dan kaki lain melipat ke atas, bak pengunjung warteg yang siap makan. Ku pasang badan ku ke arah lautan sembari menikmati pantai di kala malam.
Pesanan datang, aku tetap pada posisi warteg ku, dan tetap menatap ke perempuan itu, ucapan terimakasih pun melayang ke bapak dengan kumis tebal itu. Warung kecil dengan meja beratap daun kelapa yang diterangi lampu 5 watt, yang panjangnya tak lebih dari 5 meter ditemani bangku panjang yang terbuat dari batang kelapa yang eksotis ditambah semilir angin laut membuat aku nyaman memperhatikan perempuan itu dari sini.
Seteguk, dua teguk, seenyam, dua enyam, gelas air jeruk dingin ku perlahan berkurang dan sebakaran roti isi coklatku juga sama, tapi si perempuan masih belum beranjak dari dinginnya air laut dan terpaan ombaknya.
Di sela kekaguman ku pada si perempuan, aku teringat akan masa dan ku bertanya pada bapak berkumis tebal, “pak jam berapa?”. “Jam tujuh lewat 16 menit”, ujar si pemilik kumis setelah melihat jam karet dengan lambang tanda centang dan seraya tersenyum. Ku lihat gelas air jeruk dingin ku, ternyata sudah tinggal seperempat gelas, dan ku pandang piring sebakaran roti isi coklat ku malah tinggal remah-remahnya saja. Angin malam juga sudah tak bersahabat. Jadi ku putuskan untuk kembali ke tempat ku menginap.
Selembar pecahan sepuluh ribuan dan selembar pecahan lima ribuan ku berikan kepada bapak berkumis tebal itu, setelah menanyakan harga makanan dan minuman yang ku pesan tadi. Si bapak pun mengembalikan selembar pecahan dua ribuan dan selembar pecahan seribuan. Sembari mengucap, “terimakasih ya, kembali lagi nanti”. Dan ku balas senyum seraya berucap, “sama-sama pak”
Aku yang membawa gulungan tikar yang mirip risol raksasa itu melangkah dari warung kecil sembari menengoki perempuan bergaun biru di sana. Lagi-lagi ku berpikir, untuk apa perempuan dengan keegoannya yang mau-maunya berbasah-basahan dan berdingin-dinginan di sana?
Ku susuri jalan setapak dari pantai menuju ke tempat aku bermalam yang cuma diterangi cahaya lampu seadanya bahkan nyaris gelap, maklum tarif listrik sedang cari muka akhir-akhir ini, jadi cuma ini yang ku dapat. Tidak jauh juga memang dari pantai tadi ke tempat penginapan ku, jadi tak terlalu was-was akan hal tersebut.
Di depan tempat ku bermalam, ku rogoh kantong celana pendek ku sebelah kiri, ku cari kunci pembuka kamar dengan gantungannya bertuliskan “sweet dreams”. Setelah dapat, ku buka pintu dan langsung menuju ke tempat dimana orang-orang menyebutnya “sweet dreams”.
Ku lempar gulungan tikar yang ku bawa ke pojokkan dekat pintu masuk dan ku langsung rebahkan badan yang 60 kg ini ke kasur putih nan empuk tanpa mandi atau sekedar cuci muka. Ku tutupi mata ku yang terpejam ini dengan bantal yang warnanya putih juga. Aku bahkan tak tertarik menyalakan lampu di kamar ini yang cuma 10 watt, aku takut penyedia tempat bermalam ini kerepotan membayar tagihan listrik nantinya.
Tanpa sadar, entah kapan mulainya, aku sudah terlelap dan terjaga saat sinar matahari yang masuk lewat lubang-lubang gordein (maaf kalo salah tulis, saya tidak tau tulisan versi EYD-nya) mengetuk kelopak mata ku. Aku terjaga, dan segera ku mencari alat pengingat masa, sebuah jam yang ternyata berada di tembok tepat di atas kepala ku. Jam bulat itu berjarum pendek di angka delapan dan berjarum panjang di angka tiga. Itu berarti sudah 12 lebih aku memejamkan mata.
Ubah posisi dari tidur ke duduk, sembari mengucek-ngucek mata, aku langsung terganggu dengan bunyi perut yang berdisko ini. Tanpa berrpikir lagi, aku menuju ke kamar mandi untuk sekedar membasahkan muka dan gosok gigi.
Aku yang masih memiliki beberapa lembar uang dikantong sebelah kanan ini, segera bergegas menuju warung kecil yang dimiliki bapak berkumis tebal yang semalam ku juntrungi untuk melahap lagi roti isi coklat yang bakarannya seala kadarnya itu. Tidak lupa mengunci pintu tentunya, aku membawa kaki ini berjalan 5 Km/jam, cukup cepat untuk orang yang baru bangun tidur dan kelaparan.
Sesampai di warung ku sapa pemilik warung kecil itu, “pagi pak”. “pagi juga mas”, ujar bapak berkumis itu. “mau pesen apa mas?” sambung bapak berkumis tebal sang empunya warung yang ternyata tahu bahwa saya sedang dilanda kelaparan. Pagi ini aku ingin merasakan sebakaran roti isi coklat yang mirip dengan kemarin, tapi minuman yang ku pesan kali ini beda, kopi hitam. Sang bapak berkumis tebal itu dengan sigap mengangkat pinggan dan termosnya.
Bapak berkumis yang sedang mengaduk kopi, gula dan air panas di gelas belimbingnya seketika berkata, “oh iya mas, mba-mba bajunya biru yang kemarin di pantai, jam 9 mampir ke sini loh”. Aku langsung kaget mendengar itu tapi aku hanya diam mendengar sang bapak bicara.
“dia cerita, dia habis bertengkar hebat dengan tunangannya. Padahal malam itu mereka akan membicarakan hari tanggal pernikahan mereka”, ujar si bapak. “tapi dia tak jadi menikah karena hal sepele, entah masalahnya apa dia tak cerita”, lanjut si bapak sembari membolak balik roti isi coklat pesanan ku.
Aku cuma terdiam mendengar si bapak berceloteh. Antara iba, kasihan dan penasaran, aku terus mencoba jaga sikap, toh si perempuan bergaun biru itu sudah bertunangan. Sayang skenario itu tidak untuk saya dalam hati bergumam.
“ini mas pesanannya”, ujar pemilik warung. “mungkin karena haus, dia ke mari pesan minuman yang ternyata sama dengan yang mas pesan kemarin”. Lanjutnya. “Terus dia ceritakan hal itu. Lalu dia meminjam kertas dan pulpen”, sambungnya sembari mengambil kertas di dekat tempat gula di samping sebuah termos. “katanya kasihkan ke orang pertama yang datang kesini” tangkas bapak berkumis tebal sembari berjalan ke luar warungnya menuju kea rah ku duduk. “eh ternyata si mas yang datang duluan” ujarnya sembari menghampiri ku dan duduk disampingku.
“ini mas” katanya sambil menyodorkan sehelai kertas yang dilipat empat bagian. “kemarin dia menitipkannya ke saya, karena ini amanat saya gak berani baca”, ujarnya sembari tersenyum hangat.
Kuterima kertas itu dengan hati yang kebingungan dan ku buka perlahan. Ku temukan kata-kata
“aku sedang gulana
aku butuh bahu untuk ku menangis
aku butuh kau untuk ku melepas duka
tapi skenario ini tidak untuk aku”
Untuk pria bercelana oranye.
Aku masih bimbang, bingung, dan tidak bisa berpikir lagi. Apa maksud kata-kata ini? Dan siapa pria bercelana oranye>
Seketika itu, kopi hitam yang ku pesan tersenggol tangan kanan ku ketika melipat kertas. Air kopi panas ini tumpah ke celana pendek ku. Dan seketika itu juga aku sadar, bahwa celana ku berwarna oranye.
Timbul pertanyaan di otak ku dan ku tanyakan ke sang bapak berkumis tebal, “terus perempuan itu kemana pak?”. “dia langsung pulang ke rumah neneknya di Jakarta malam itu juga naik pesawat”, singkap si empunya warung.
Sekali lagi aku terbersit pikiran awal ku tadi dan kata terakhir si perempuan bergaun biru. “Skenario ini tidak untuk aku”