Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Peringatan 1 Desember adalah Kebohongan Publik dan Klaim Palsu Kelompok Separatis Papua

28 November 2022   06:23 Diperbarui: 28 November 2022   07:11 307 1
Setiap kali mendekat pada tanggal 1 Desember, sebagian masyarakat Papua dihasut dan diprovokasi untuk membangkitkan kembali ingatan palsu tentang hari ulang tahun OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Kepalsuan dan pembohongan publik selalu diulang untuk menipu dan menghasut masyarakat sebagai peristiwa yang legal dan faktual. Penipuan dan Kekeliruan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun di bumi Papua ini.

Namun fakta sejarah dan nalar hukum menunjukkan bahwa tak ada alasan yang sah untuk mengaitkan 1 Desember dengan hari lahir Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Pernyataan  palsu dan hoaxs itu selalu digembar-gemborkan dalam memanipulasikan situasi dan pikiran warga Papua, untuk merekayasa sejarah agar  kelompok organisasi Papua merdeja alias Kelompok Separatis Papua memperoleh pengakuan.

Fakta dari Dokumen sejarah hanya menyebutkan bahwa pada 18 November 1961, setelah dilaksanakannya rapat luar biasa Dewan Papua atau sebelumnya dalam bahasa Belanda bernama Nieuw Guinea Raad, sekedar memutuskan aturan tentang bendera daerah dan lagu kebangsaan saja. Dimana Aturan tersebut ditetapkan oleh Gubernur Jenderal PJ. Platteel

Adapun mengenai perisai lambang, ketentuannya masih tertunda dan menunggu keputusan Dewan Tinggi Bangsawan (Hoge Raad van Adel) di Den Haag, Belanda. Namun secara ilegal dan tidak sah, pada 1 Desember 1961 ada segelintir pihak yang melakukan pengibaran bendera di onderafdeling / kota Hollandia (saat ini disebut Jayapura).

Dengan fakta tersebut, sesungguhnya secara legal atau secara hukum tanggal 1 Desember 1961 tidak bisa diklaim sebagai Hari Kemerdekaan Niew-Guinea.

Bahwa sejarah mencatat adanya proses, atau paling tidak janji, ke arah sana oleh Kerajaan Belanda yang ketika itu masih berdaulat di atas Tanah Papua. Namun, secara legal, tahapan itu sangat tidak memadai untuk dijadikan klaim sebagai deklarasi kemerdekaan.

Termasuk dalam politik, proses politik yang hanya melibatkan segelintir elit yang ada saat itu tidak bisa disebut memiliki legitimasi tinggi. Tak ada bukti sejarah adanya proses politik yang melibatkan rakyat secara luas untuk event 1 Desember itu. Klaim OPM itu jelas hanya klaim sepihak tanpa legitimasi politik.

Namun, di tengah miskinnya bukti sejarah dan kebenaran hukum, OPM terus berupaya membuat kebohongan publik dengan menyebut 1 Desember sebagai hari bersejarahnya. Yang mereka lakukan semata-mata demi nafsu dan keserakahan kedudukan dan jabatan dengan cara memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Provokasi kebohongan yang disampaikan oleh Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom. Bahwa 1 Desember adalah hari para tokoh Papua dan pemerintahan Belanda sebagai embrio negara jelas-jelas rekayasa dan tipu daya semata.

Namun, dalam konteks kekinian, pernyataan juru bicara OPM tersebut tidak hanya mengingkari fakta sejarah dan kebenaran yuridis, namun dapat disebut sebagai upaya mengelabui dan memperdaya masyarakat Papua.
Dalam hal fakta sejarah dan kebenaran hukum, justru masyarakat Papua sudah memberikan sebuah pernyataan tegas untuk merdeka atau bersama Indonesia. Pernyataan itu diformalkan dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

Mereka yang mengingkari fakta tersebut biasa mengatakan bahwa Pepera adalah akal-akalan Indonesia untuk menguasai Papua, sampai mengatur hasilnya agar masyarakat Papua memilih untuk bergabung ke Indonesia.

Jelas itu merupakan Tuduhan keji dan ngawur. Indonesia justru membantu memerdekakan Papua untuk lepas dari penjajahan Belanda melalui Perjanjian New York tahun 1962, untuk kemudian memberi kesempatan masyarakat Papua mengambil keputusan sendiri melalui Pepera dengan proses yang lebih legitimate.

Integrasi Papua ke Indonesia sudah sah, disetujui dan disahkan PBB. Bahkan, mereka melakukan supervisi langsung ketika diadakan Pepera tahun 1969. PBB mengutus 50 orang untuk mengawasi pelaksanaan Pepera yang dilakukan di 8 kabupaten dan oleh dihadiri 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang mewakili 809.327 penduduk Papua kala itu.

Hasil Pepera di 8 kabupaten tersebut secara mutlak memilih dan menetapkan bahwa Papua menjadi bagian dari NKRI. Hasil tersebut kemudian disepakati dan disetujui dengan pembubuhan tanda tangan bagi semua yang hadir dalam rapat. Sehingga secara de Facto masyarakat Papua telah memilih untuk berintegrasi dan masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia -- NKRI.

Pepera sendiri disahkan melalui Resolusi PBB No. 2504 pada sidang umum 19 November 1969, yang disetujui oleh 82 negara, sedangkan 30 negara lainnya memilih abstain.

Pihak-pihak yang kontra dan tidak suka dengan keputusan tersebut memberikan argumen bahwa Resolusi PBB Nomor 2504 dianggap merampas hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial-budaya (sipol-ekososbud) rakyat Papua Barat. Menuduh dan membuat fitnah bahwa  resolusi PBB adalah kepentingan Imperialis AS untuk tujuan ekonomi, dan kepentingan politik Indonesia. Ini jelas hanya tuduhan dan fitnah dari kelompok separatis / organisasi Papua Merdeka.

Kita tidak bicara politik dalam konteks ini, namun hukum, tepatnya hukum internasional. Resolusi PBB Nomor 2504 itu merupakan pernyataan tegas akan pengakuan PBB terhadap kedaulatan Indonesia terhadap Papua.

Atas dasar itu, penting untuk kita pahami bahwa setiap upaya pemisahan diri dari NKRI merupakan tindakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku.

Resolusi PBB diakui secara internasional sebagai sebuah bentuk dari hukum internasional. Masalahnya sekarang, bagi pihak-pihak yang mempertanyakan keabsahan Papua menjadi bagian dari Indonesia, hanya bermotifkan ingin Papua merdeka. Itu artinya, pihak-pihak tersebut tidak mau belajar sejarah dan hukum.

Menentang kedaulatan Indonesia di Papua tidak hanya merupakan sebuah perbuatan melawan hukum nasional kita sendiri, namun juga penentangan terhadap hukum internasional dalam bentuk resolusi tadi. Kemudian, resolusi PBB pun merupakan bagian kecil dari Piagam PBB (UN Charter) yang sudah diakui oleh seluruh anggota PBB sebanyak 193 negara di dunia.

PBB telah memperhitungkan konsekuensi dalam berdemokrasi. Sehingga wajar akan adanya pro dan kontra akan hasil Pepera tersebut. Silang pendapat antara pihak yang menerima keputusan maupun yang menentang keputusan, adalah biasa dan dapat diterima sejauh dilakukan dengan mengindahkan hukum yang berlaku dan tidak untuk memancing pertentangan ataupun konflik.

Namun, gugatan atas keabsahan Pepera oleh oknum yang tidak bertanggung jawab bisa dinilai hanyalah upaya mencari kambing hitam, dengan memanfaatkan celah sejarah, sekedar demi kepentingan pribadi ataupun kelompoknya saja.

Pepera tahun 1969 telah dilaksanakan sesuai kondisi wilayah serta perkembangan masyarakat, di mana tidak memungkinkan untuk dilakukan secara "one man, one vote". Jika hal ini dipandang sebagai suatu kekurangan ataupun kecacatan, nyatanya PBB telah menerima keabsahan Pepera melalui resolusi No 2504. Bahkan, masyarakat Internasional mengakui secara penuh dan tak ada satupun pihak yang menolak.

Intinya, tidak ada hari kemerdekaan Papua, apakah itu 1 Desember, 1 Juli, atau hari-hari lainnya. Jika ada, itu hanya provokasi dan kebohongan oleh OPM untuk  menyuarakan Papua merdeka.

Provokasi dan hasutan tersebut seringkali sengaja diarahkan untuk menciptakan benturan politik yang justeru merugikan masyarakat Papua, baik itu Orang Asli Papua, Keturunan maupun pendatang.

Karena itu, dihimbau kepada seluruh masyarakat Papua untuk tidak mudah terhasut dan terprovokasi oleh tipuan dan kebohongan kelompok Separatis Papua. Mari kita bersama-sama dengan komponen bangsa Indonesia lainnya, membangun negara, membangun Papua dalam bingkai NKRI.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun