Penyelesaian masalah Papua secara damai hanya menjadi wacana dan tidak ada titik temu anatara keinginan Jakarta dan Papua. Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang diwacanakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dinilai akan memecah keutuhan Nerara Republik Indonesia, demikin juga sebaliknya, komunikasi konstruktif yang diinginkan pihak Jakarta tidak diterima oleh Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI karena dianggap tidak akan menyelesaikan akar masalah Papua.
Empat (4) pokok masalah yang ditemukan oleh LIPI, salah satunya adalah status Politik Papua namun saat ini, pemerintah sangat takut jika status pilitik Papua dibicarakan dalam dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga dianggap akan menguntungkan pihak Papua. Pemerintah mencurigai akan mengukir sejarah Papua yang sudah dianggap tuntas di masa lalu, melalui PEPERA 1969.
Komunikasi konstruktif jelas akan membahas UP4B dan evaluasi OTSUS. Sementara Kekerasan di Papua terjadi bukan karena UP4B atau atau karena kegagalan Otsus yang tidak terealisasi dengan baik kepada rakyat . Otonomi khusus bukan permintaan Rakyat Papua, tetapi keinginan pemerintah Pusat dengan sandiwara politik memberikan tugas kepada elit Papua, yakni kaki tangan Jakarta yang terdiri dari akademisi Universitas Cenderawasi dan pemerintah Papua, supaya Rakyat Papua berpikir, Otsus adalah Permintaan orang Papua. Otsus bukan pemberian atau niat baik Jakarta kepada rakyat Papua, tetapi hanya bagaikan alat pemadaman kebakaran, karena rakyat Papua ingin memisahkan diri dari NKRI.
Buktinya, Perdasi-perdasus yang disusun dimasa Gubernur J.P. Salossa tentang pembatasan kependudukan dari luar Papua dan hak-hak masyarakat asli Papua ditolak oleh pemerintah Pusat dengan alasan, Papua bukan negara tersendiri, karena setiap warga negara berhak untuk masuk ke wilayah Papua, karena Papua bagian dari Indonesia.
Sementara setiap minggu, bahkan setiap hari melalui kapal laut dan Pesawat, penduduk dari luar semakin bertambah, mengancam populasi penduduk asli Papua, menutup peluang-peluang kerja termasuk kak mendapatkan akses seluas-luasnya sehingga Uang otsus yang dikhususkan bagi orang Papua harus dibagi bersama. Makna tentang kekhususan, pemberdayaan, keberpihakan, perlindungan yang tertulis dalam undang-undang otonomi khusus hanya menjadi sebuah tulisan kosong.
Simbol-simbol budaya Papua yang diatur dalam Undang-Undang otonomi khusus seperti Bendera Bintang kejora, lagu kebangsaan Papua (hai tanahku Papua) dan logo burung mambruk dihapus dengan adanya peraturan presiden No. 77 tahun 2007. Akibatnya para aktifis yang kecewa dan protes pemerintah, dengan aksi damai selalu ditangkap dan dijerat pasal makar; tahanan politik Papua tidak perna dibebaskan tanpa syarat, justru semakin bertambah; rakyat Papua yang tidak bersalah ditangkap, disiksa tanpa prosedur hukum; Setelah dipraperadilankan dan dalam sidang terbukti, aparat kepolisian bersalah, namun dalam keputusan hakim, justru membenarkan kepolisian (Para pelaku); Rakyat hanya menjadi korban, korban dan korban karena hukum di republik ini tidak berlaku bagi orang Papua. Dipikiran aparat, semua org Papua adalah separatis dan kapan saja bisa ditangkap, ditahan, disiksa, dan dipenjarahkan tanpa prosedur hukum, karena menurut aparat keamanan, “makar tidak perlu kompromi, tidak perlu pakai prosedur hukum, karena hukum tetap akan memihak kami”.
Jika persoalan Papua diselesaikan secara damai tanpa menyentuh akar masalah, apa kedua belah pihak pastikan bahwa Papua akan aman dan damai selamanya? Apakah komunikasi konstruktif itu diadakan antara Jakarta denga pemerintah Papua yang hanya membahas persoalan kesejakteraan? Apakah karena pihak Papua tidak memiliki posisi tawar yang kuat sehingga menawarkan diskusi konstruktif?. ini menjadi pertanyaan penting bagi kedua belah pihak.
Jika pemeritah tidak membicarakan status politik Papua, dan hanya berpatokan pada masalah marginalisasi, masalah pembangunan dan pelanggaran HAM, kekerasan di Papua akan terus akan berlanjut. Karena Papua tidak menuntut kesejakteraan, tetapi keluar dari negara kesatuan republik Indonesia dan berdaulat sebagai sebuah negara.
Ini menjadi kekwatiran jakarta, walaupun berbicara tentang perdamaian dan pendekatan persuasif, namum demiliterisasi di Papua masih terlihat sampai saat ini. Berbicara tentang kedamaian harus jujur dan transparan, jika tidak tidak, kedamain tidak akan terjadi di Bumi Cenderawasih.**