Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Laki-laki dalam Kesengsaraan, Adat yang Tak Beradab

16 Juli 2023   13:45 Diperbarui: 16 Juli 2023   13:53 434 4
Minangkabau merupakan sebuah rumpun etnis yang terpusat di Provinsi Sumatra Barat. Terlepas dari daerah aslinya, orang Minangkabau juga tersebar di-beberapa daerah Indonesia bahkan sampai ke luar NKRI.

Merantau dan Minangkabau adalah dua hal yang cukup unik, dan kerap dua hal tersebut dihubungkan. Tapi memang tidak dapat dipungkiri bagaimana berdiaspora (merantau) telah menjadi tradisi yang hampir selalu dipraktikan laki-laki Minangkabau yang telah beranjak dewasa atau bahkan masih dalam fase remaja.

Akibat dari diasporanya orang Minangkabau tadi, penulis cukup memberi perhatian terhadap bagaimana label orang Padang yang menempel kepada setiap orang Minangkabau yang merantau keluar dari daerah asli Minangkabau. Padahal pada dasarnya orang Padang belum tentu orang Minangkabau dan orang Minangkabau belum tentu orang Padang, kedua hal ini sangatlah berbeda karena Padang merupakan Ibukota Provinsi Sumatra Barat dan Minangkabau merupakan etnis yang berasal dari daerah Sumatra Barat sekarang ini, begitulah kiranya distingsi yang terdapat dari dua hal tersebut.

Namun, bukan hal itu yang akan menjadi topik utama dari tulisan ini, penulis mencoba mengulas tentang "Laki-laki dalam kesengsaraan, adat nan tak beradab", atau saya bisa beri perhatian secara khusus terhadap adat lama dan bagaimana adat itu mengatur laki-laki dalam hampir seluruh aspek kehidupan yang dulu-nya berlaku di Minangkabau. Tulisan ini sangat terinspirasi dari buku " Islam dan Adat Minangkabau" yang terbit tahun 1985.

Laki-laki nampaknya sangat terasing dari kesetaraan, bukanlah sebuah ungkapan yang berlebihan jika kita meninjau dari prespektif gender, adat lama yang dulunya dipakai Minangkabau seolah mengkerdilkan peran laki-laki dalam hampir seluruh aspek kehidupan.

Bagaimana tidak terasing jika laki-laki setelah mampu untuk berjalan sendiri ke Surau akan tinggal di Surau tersebut dan akan meninggalkan Rumah Gadang dalam usia rata-rata 6 tahun.

Di Surau laki-laki Minangkabau tadi akan mempelajari tentang agama dan adat Minangkabau, Surau akan menjadi rumah baru bagi laki-laki dan hanya akan bisa pulang sesekali untuk menjenguk sang ibu. Setelah cukup mampu dan cukup ilmu untuk melakukan pernikahan, laki-laki tersebut akan menikah dengan seorang perempuan pilihan dari mamak sang perempuan tersebut. Pihak perempuan membawa serupa mahar kepada pihak laki-laki, dan akhirnya begitulah dinamakan Orang Jemputan, karena dijemput dengan membawa uang jemputan, sedikit berbeda dengan mahar karena uang ini diberikan ketika pra-nikah. Walaupun praktik Orang jemputan tidak menyeluruh terdapat di daerah Minangkabau akan tetapi hal ini sangat melekat dan lumrah terjadi di alam Minangkabau.

Setelah menikah status laki-laki akan berganti menjadi orang Sumando dalam Rumah Gadang, peran orang Sumando-pun di Rumah gadang cukup unik, yaitu kasarnya hanya menumpang. Sumando akan bekerja untuk mencari penghidupan dan mencari kekayaan yang bahkan tidak akan ia nikmati di usia tua nanti.

Walaupun orang Minangkabau terkenal dengan keuletan dan kegigihan dalam bekerja hasil yang didapatkan tidak akan menjadi harta dia melainkan harta itu akan diterima istri dan kemenakan-nya. Malahan dalam adat Minangkabau sendiri seorang ayah tidak memiliki tanggung jawab apapun terhadap sang anak, tanggung jawabnya yaitu hanya sebagai seorang mamak dengan memberi penghidupan untuk kemenakan, begitu pula dengan anaknya yang akan menjadi tanggung jawab dari Mamak sang anak.

Fenomena ke Kadai ( warung ) bagi laki-laki Minangkabau juga merupakan hasil dari sistem adat yang berlaku tadi. Karena Orang Sumando hanya menumpang di Rumah Gadang sang istri. Setiap pagi Orang Sumando harus pergi bekerja, bahkan untuk segelas kopi pun ia tidak dapatkan, melainkan harus memesan kopi ke Kadai, karena sifatnya yang hanya menumpang, maka istri tidak wajib membuatkan Orang Sumando kopi ketika berada di Rumah Gadang.

Hal tersebut juga membuat laki-laki di Minangkabau mudah berpoligami. Karena tanpa tanggung jawab apapun ia bisa pergi sesukanya, ia bisa menikah sesukanya, dan ia pergi tanpa tanggung jawab apapun bagi istri dan anaknya. Dengan anak sendiri-pun ia tidak dekat karena setiap hari waktu habis di luar rumah untuk bekerja, dan sang anak tentu lebih dekat kepada sang ibu yang sehari-hari bersamanya.

Walaupun laki-laki terlihat cukup bebas, Akan terlihat jelas bagaimana ketimpangan terjadi dengan kebobrokan sistem kepemilikan yang adil dan akhirnya membuat laki-laki tidak memiliki harta apapun kecuali baju yang sedang dipakainya, karena jika ia bercerai dengan istrinya ia akan membungkus bajunya keluar dari rumah gadang dan akan balik lagi ke Surau sampai ada perempuan lain yang menjemputnya untuk dijadikan suami.

Jika laki-laki balik ke Rumah Gadang orang tuanya, bahkan akan sangat memalukan baginya. Hal itu merupakan sebuah aib karena tidak lazim laki-laki dewasa yang tidak menikah menempati Rumah Gadang ibunya. Bahkan untuk orang tua yang membujang atau tidak lagi beristri dahulu di Minangkabau dibuatkan sebuah Surau khusus untuk tempat tinggal atau kasarnya penampungan, dikarenakan tidak berguna lagi tenaganya untuk bekerja dengan alasan sudah mulai uzur.

Walaupun laki-laki dewasa Minangkabau masih memiliki peran sebagai mamak hal itupun tidak akan bertahan lama sampai kemenakan-nya mengambil kekuasaan mamak tadi, secara alami ia akan tersingkir dari rumah gadang tanpa harta apapun dan tanpa kebanggaan apapun selain menjadi orang tua biasa yang hidup di tempat penampungan.

Siklus inilah yang terjadi terus menerus dalam penerapan adat yang dipakai oleh orang Minangkabau tempo dulu. terlihat bagaimana ketidakadilan yang terjadi dalam sistem adat yang berlaku di Minangkabau khususnya dalam hak-hak yang didapatkan oleh laki-laki. Tidak heran jika dulu Rumah Gadang yang ditemui dalam ruang lingkup alam minangkabau selalu diberi label dengan nama perempuan sebagai pemilik, hampir tidak ada ditemukan Rumah Gadang yang diberi label sesuai dengan nama laki-laki.

Selain itu, saya melihat laki-laki hanya dipandang sebagai alat eksploitasi. terlihat bagaimanapun laki-laki bekerja entah itu dengan gigih atau malas, hasil yang didapatkan hanya sekedar keringat belaka.

Gender menjadi basis atas dari keterasingan ini, karena ia laki-laki lalu tidak ada kesetaraan dalam sistem pembagian harta, karena ia laki-laki kepemilikan itu utopis, karena ia laki-laki maka haruslah di-eksploitasi dari segi tenaganya, dan bahkan karena ia laki-laki haruslah selalu hidup dalam bayang-bayang perempuan.

Ironis, tapi itulah sistem masyarakat yang berlaku di Minangkabau tempo dulu. Bersyukur adat yang kulot tersebut menjadi kontroversi dikarenakan sangat bertentengan dengan syariat Islam, cukup banyak pertentangan yang terjadi antara kubu adat yang kulot dan kubu adat yang reformis dengan berlandaskan syariat islam. pada masa pemerintahan kolonial Belanda selalu terjadi keberpihakan sehingga jika terjadi pertentangan, kaum adat yang kulot selalu dimenangkan akibat campur tangan Belanda tadi.

Namun, akibat dari gencarnya perhatian terhadap adat yang telah diterapkan semenjak tegaknya Gunung Merapi itu. Akhirnya zaman ini kita tidak lagi melihat praktik dari adat tersebut, dan ternyata tidaklah sepenuhnya mutlak adat itu absolut, adat mau tidak mau harus berubah sesuai dengan jiwa zaman-nya masing-masing.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun