Sejarah membuktikan bahwa selama bertahun-tahun di era kepimpinan Ibu Megawati sampai Bapak SBY negara kita masih miskin akan penghasilan beras yang sempai saat ini masih digandrungi oleh rakyatnya. Presiden pertama yang dipilih melalui rakyat dan sebelum mengambil hati rakyat untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini selalu membawa topik beras sebagai bahan kampanyenya. Bapak SBY dalam visi-misinya selalu memperhatikan pertanian di Indonesia yang harus dilestarikan. Tapi entah kenapa sampai diakhir periode era kepemimpinan pak SBY bahkan sampai 2 kali masa jabatan tidak ada nasib beras di republik ini yang waras.
Tanaman padi tumbuh karena pak petani yang setiap hari selalu menyiraminya, padi tumbuh karena pak tani yang selalu memberi obat padanya, padi tumbuh dengan baik dan menghasilkan panen yang optimal karena pak tani yang selalu menjaga dan merawatnya. Berhasil dan tidaknya stok beras ada di tangan pak tani.
Sekarang kita lihat akhir-akhir ini. Harga pupuk yang melambung tinggi, tenaga kerja yang sulit untuk dicari, pajak tanah yang semakin melambung tiap tahunnya, alat pertanian yang semakin punah dan mahal harganya, dan bahkan air yang sulit untuk didapat. Dengan berbagai faktor tersebut yang menjadikan para petani di negeri kita sudah enggan untuk menanam padi dan bahkan lebih ngeri lagi banyak para petani yang meninggalkan pekerjaan tersebut dan beralih pekerjaan. Sehingga sawah-sawah yang mereka miliki rela dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagai modal buat usaha sampingan.
Sungguh ironis memang, negeri yang banyak lahan sawahnya dan menghasilkan tanaman padi yang sungguh luar biasa banyaknya sampai di ekspor ke luar negeri sudah berakhir dan sekarang sudah sebalinya Indonesia selalu menggantungkan negara lain untuk memenuhi stok beras di negaranya.