Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, telah menjadi sorotan publik setelah ia diumumkan menjadi calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Keputusan ini terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan perubahan batas usia capres-cawapres.
Awalnya, batas usia minimum untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden adalah 40 tahun. Namun, setelah perubahan aturan ini, seseorang yang berusia di bawah 40 tahun dapat menjadi capres atau cawapres asalkan sudah pernah menjabat sebagai pejabat publik.
Gibran sendiri tahun ini telah genap berusia 36 tahun. Meskipun ia sudah memiliki pengalaman sebagai Wali Kota Solo, banyak yang berpendapat bahwa aksi debat Gibran yang terjadi tadi malam adalah bukti bahwa dirinya belum matang secara emosi dan etika.
Beberapa aksi yang dilakukan Gibran dianggap telah melewati batas dan merendahkan lawan debatnya. Pendapat kritis ini juga merupakan akumulasi dari beberapa aksi kontroversial yang dilakukan Gibran sebelumnya, seperti menjadi cawapres hasil perubahan aturan konstitusi secara mendadak, diduga sering melakukan pelanggaran kampanye di beberapa tempat, dan sikapnya yang kurang kooperatif serta terkesan selalu menghindari media.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan kembali mengenai batas usia 40 tahun. Memang benar bahwa usia tidak menjamin ke-mature-an emosi dan etika seseorang. Tidak sedikit orang yang sudah berumur namun tetap meledak-ledak jika disinggung atau ditanya hal yang sedikit sensitif.
Namun, batas usia 40 tahun jelas dianggap sebagai batas ideal. Karena pada usia ini, sebagian besar manusia dianggap sudah cukup matang dalam bersikap dan bertutur kata. Singkat kata pada usia ini, mereka dianggap sudah mencapai tingkat kebijaksanaan yang memadai.
Namun demikian, tidak semua orang di bawah usia 40 tahun pun belum matang atau dewasa. Terdapat juga individu-individu yang sudah matang secara emosi dan etika meskipun masih berusia di bawah batas usia tersebut. Meski begitu, rata-rata belum demikian dan mayoritas masyarakat lagi-lagi mengaitkan hal ini dengan aksi Gibran dalam debat terakhir.
Masyarakat kompak berpendapat bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus jadi contoh bagi rakyatnya. Jika mereka tidak memiliki kontrol emosi dan etika yang baik, maka hal tersebut akan berdampak kurang baik pada masyarakat. Rakyat akan dengan mudah berpendapat, "Jika pemimpinnya seperti itu, kenapa saya tidak boleh?"
Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memilih presiden dan wakil presiden sesuai dengan dasar kepantasan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk memberikan suara pada tanggal 14 Februari mendatang demi masa depan negara ini.
Dengan mengedepankan kematangan emosi-etika dan kepemimpinan yang berkualitas, semoga Indonesia dapat memiliki pemimpin yang mampu membawa negara ini menuju kemajuan dan keberhasilan yang lebih baik.***