Sebelumnya, biaya penerbangan drone di kawasan Bromo hanya Rp 300 ribu per hari. Namun, kenaikan tarif ini bertujuan mengatur dan mengawasi penggunaan drone di wilayah konservasi agar lebih terkendali, mengingat taman nasional adalah rumah bagi flora, fauna, dan masyarakat adat. Pembatasan lokasi penerbangan drone juga diterapkan untuk menjaga adat setempat, serta melindungi satwa dan kenyamanan pengunjung.
Menurut Agung Nugroho, Kasubdit Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam KLHK, kenaikan tarif ini memberi hak penggunaan fasilitas secara legal bagi pengunjung. Selain itu, prosedur operasional standar (SOP) untuk penerbangan drone telah disiapkan untuk memastikan aturan ini berjalan dengan baik.
Kepala Bagian Tata Usaha TNBTS, Septi Eka Wardani, menegaskan bahwa drone hanya diizinkan terbang di area tertentu agar tidak mengganggu adat masyarakat Tengger, habitat satwa, dan ketertiban di kawasan wisata. Sementara itu, Humas Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Agus Denie, menjelaskan bahwa tarif PNBP ini berlaku untuk semua penggunaan drone, baik komersial maupun non-komersial, bagi wisatawan domestik maupun internasional.
Di sisi lain, kenaikan tarif yang signifikan ini menuai kritik dari komunitas drone. Farra Rachmanda, perwakilan Komunitas Rumah Drone, menyatakan bahwa tarif baru ini memberatkan dan mengurangi minat pegiat drone untuk mengeksplorasi dan mengabadikan keindahan alam Indonesia. Kawasan seperti kaldera Gunung Bromo yang luas sebelumnya menjadi lokasi favorit pengambilan gambar dari udara. Namun, dengan tarif baru ini, banyak pegiat drone merasa perlu kajian lebih lanjut mengenai tarif yang dianggap terlalu tinggi.
Untuk pengambilan foto dan video komersial, KLHK juga menetapkan tarif berbeda, yaitu Rp 10 juta per paket lokasi bagi warga negara Indonesia dan Rp 20 juta bagi warga negara asing. Keputusan ini diharapkan membantu pengelola taman nasional menjaga ekosistem sambil tetap membuka peluang wisatawan menikmati alam dengan aman dan teratur.