Setiap warga negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945 telah diberikan hak yang sama untuk merebut jabatan publik itu. Karenanya, siapapun diperkenankan untuk bertarung dalam perebutan jabatan publik itu. Namun demikian, di beberapa daerah, dijumpai munculnya rezim keluarga dalam Pemilukada. Mereka yang "melamar" atau "dilamar" untuk menjadi kepala daerah berasal lingkungan terdekat yang sekarang berkuasa (incumbent), seperti istri, anak, adik, kakak. Ini tidak salah, tapi apa elok seperti itu?.
Di sisi lain, seperti Pilkada pertama pada 2005, Pemilukada tahun ini juga diwarnai oleh rencana munculnya kandidat yang berlatarbelakang artis, sebut saja Julia Perez di Pacitan Jawa Timur, Vena Melinda di Blitar, Jawa Timur, dan Ratih Sanggarwati di Ngawi, Jawa Timur, bahkan Maria Eva juga berencana mencalonkan diri. Mereka diganyang-ganyang akan mampu merebut jabatan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah karena kepopuleran mereka di mata masyarakat.
Tentu, keikutsertaan mereka dalam kancah politik ini sah-sah saja sepanjang didukung oleh kompetensi atau kapabilitas mereka untuk memimpin. Tapi kalau kehadiran mereka sebatas karena kepopulrean saja, tentu ini menjadi persoalan. Mengapa? Sebab memimpin adalah "seni" yang tidak cukup dibangun oleh kepopuleran semata.
Siapapun yang akan maju bertarung dalam Pemilukada mestilah didukung oleh kemampuan yang mumpuni untuk memimpin, memiliki rekam jejak yang baik, dan tidak cacat moral. Sekali lagi, "tidak cacat moral". Dan siapa yang menilai kemampuan itu? tentu masyarakat sendiri. Biarlah masyarakat yang akan memberikan penilaian. Karenanya pemerintah, partai politik, dan semua komponen bangsa perlu melakukan pendidikan politik agar masyarakat tidak sampai salah memilih pemimpinnya. Yang terpenting, jangan sampai Pemilukada menjadi arena transaksi moral bagi calon untuk mensucikan diri dari latar belakangnya.