Untuk kesekian kalinya, Timnas Indonesia mencatat hasil yang membuat anak bangsa ini kecewa. Teranyar, di pertandingan Piala AFF 2014 Grup A, Selasa (25/11) sore. Di My Dinh Stadium Hanoi, Vietnam, Indonesia dicukur hingga botak oleh Filipina.
Ya, Filipina yang menggunduli skuad "merah putih". Jika meminjam kalimat sakti ini raja dangdut; Ini Sungguh terlalu!. Sebuah hasil yang sangat memalukan. Padahal, jika berkaca pada catatan sejarah, kekalahan 0-4 dari Filipina, jelas tak masuk akal bagi Timnas Indonesia. Selama 56 tahun, sejak Asian Games 1958, negeri ini tak pernah kalah dari negara tetangga dari utara itu. Dari 22 kali pertemuan sebelum laga hari ini, catatan itu terawat dengan baik, dan hari ini catatan panjang itu rontok.
The Azkals - julukan Filipina-, sebelumnya selalu menjadi bulan-bulanan skuad Garuda. Bahkan skor kemenangan Indonesia tak jarang menghasilkan skor tenis, polo air, bahkan bulutangkis. Dulu mereka tak ubahnya makanan empuk Timnas Indonesia, seperti halnya Kamboja, Brunei Darussalam, Timor Leste.
Tapi hari ini semuanya berbalik, sang 'Anjing Jalanan' yang dulu begitu mudah dikalahkan, kini mereka balik menggigit dan mengoyak-ngoyak Indonesia dengan mudahnya. Bahkan pelatih mereka mantan Kapten timnas Amerika Serikat, Thomas Dooley, setengah mengejek menyebut permainan Indonesia tak ubahnya seperti Laos, alias tim level bawah Asia Tenggara.
Kenapa bisa? harus diakui, sepakbola Filipina memang telah mengalami banyak kemajuan. Karena mereka lebih serius membangun sepakbolanya, walau dengan jalan pintas naturalisasi. Tapi itulah upaya mereka mengangkat sepakbola yang selama ini menjadi olahraga tak populer, kalah bersaing dengan bola basket, tenis, bahkan tinju.
Dengan konsep naturalisasi itu, sejak lima tahun terakhir Filipina sebenarnya sudah memberi warning, bahwa sepakbola mereka bersiap untuk bangun. Dan itu sudah dibuktikan, dalam dua AFF terakhir 2010 dan 2012 mereka selalu lolos ke semifinal, bahkan AFF tahun ini mereka juga sudah dipastikan lolos, dengan dua kemenangan atas Laos dan Indonesia.
Tapi apapun itu, jelas mereka kini lebih maju ketimbang Indonesia yang jelas-jelas semakin jalan di tempat, bahkan mengambil jalan mundur. Kinerja Federasi yang carut marut, kompetisi amburadul yang sarat intrik, serta BTN yang bertanggung jawab mengurus Timnas, penuh dengan kepentingan dan tipu-tipu dalam menunjuk pelatih dan pemain.
Tiga hal itu adalah "style" sepakbola Indonesia hari ini. Tak heran, jika semua itu berimbas pada timnas, karena tiga komponen vital untuk membentuk Timnas yang bagus itu memang sudah rusak. Makin parah kalau melihat sepakbola kita dijadikan alat politik.
Siapa yang tak miris, kecewa, jengkel, dan marah melihat Timnas yang main dengan kostum heroik Merah Putih desain terbaru, terlihat seperti diajari main bola yang benar oleh pemain Filipina. Sehingga Firman Utina dkk, tak lebih seperti Laos, Brunei, Timor Leste, ataupun Kamboja di hadapan negara yang satu dekade lalu masih jadi lumbung gol Indonesia.
Yang lebih meyedihkan, mereka bermain seolah tanpa spirit yang memadai, gampang sekali membuat kesalahanmendasar, dan seperti mempersilahkan Filipina mencetak gol sebanyak-banyaknya ke gawang Kurnia Meiga. Persiapan minim dan tenaga pemain terkuras di kompetisi pun menjadi "kambing hitam".
Dan, yang lebih memalukan mereka seperti tak mengerti peraturan, seperti tindakan Meiga yang melahirkan tendangan bebas dalam kotak penalti . Sudah salah protes lagi, mungkin dikiranya wasit bisa dipengaruhi dan ditekan seperti di kompetisi domestik.
Tapi diatas itu semua, akar masalahnya memang ada di PSSI Pusat. Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi induk bagi pembangunan sepakbola di Indonesia, tetapi pada kenyataanya PSSI justru tak ubahnya benalu yang menggerogoti persepakbolaan negeri ini.
PSSI sekarang bukan lagi sebuah institusi yang mengurus dan memayungi sepakbola Indonesia jadi lebih baik. Makin tak relevan kalau bicara sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa seperti cita-cita sang pendiri Soeratin Sosrosoegondo hampir satu abad lalu.
Yang ada sekarang, PSSI hanya menjadi milik sekelompok orang yang tak tergantikan, dan mereka menjadikan lembaga ini seperti kerajaan tambang emasnya. Tak heran, image yang melekat di PSSI sekarang tak jauh-jauh dari yang namanya mafia, pengaturan skor, jual beli pertandingan di kompetisi, sepakbola gajah, atau pembinaan usia dini yang amburadul.
Dan, hasil memalukan Timnas melawan Filipina hanyalah salah satu efek dari bobroknya induk sepakbola itu sendiri. Bagaimana akan menghasilkan produk Timnas yang berkualitas, kalau induknya sendiri juga tak beres. Jadi, jika tak ada perubahan, kita siap-siap saja tahun depan atau tahun- tahun berikutnya Timnas senior kita akan dikalahkan dengan mudah Brunei, Kamboja, Laos, atau Timor Leste. Dan kita semakin tertinggal jauh dari Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan tentunya Filipina.(*)