Ibarat duel Valentino Rossi vs Jorge Lorenzo di Catalunya, Nil disalip di tikungan terakhir oleh Indra. Nil yang sudah disiapkan, bahkan sudah teken kontrak dengan Pusam sebelum merger dengan klub asal Bali, sehingga berubah nama menjadi Bali United Pusam. Nil pun disiapkan melatih klub merger tersebut.
Namun, nama Nil kemudian terlempar begitu saja, dan digantikan Indra. Kontrak-nya dengan Pusam sebelumnya seolah tak dianggap sama sekali. Bahkan Nil tahu kabar "kudeta' dan dirinya dilempar begitu saja justru dari media. Pihak petinggi Pusam yang sebelumnya mengikatnya dengan kontrak, sama sekali tak menghubungi dan membicarakan perubahan itu dengan dirinya.
Dari kasus ini, hanya satu hal pertama yang saya tangkap. Soal etika, saling menghargai, dan saling menghormati dalam dunia sepakbola kita terkadang memang masih sangat rendahnya.
Sikap profesional Nil yang sebelumnya dengan halus menolak tawaran bagus sejumlah klub, karena sudah berkomitmen dengan janjinya akan bertahan di Pusam jika pihak Pusam ingin kembali memakai jasanya, ternyata dengan kejadian ini dia sama sekali tak dihargai.
Masuk akal juga, jika Harbiansyah Hanafiah sebagai pemilik Pusam beralasan, bahwa sebagai klub yang baru merger, tentunya pihaknya tak bisa memutuskan sendiri soal pelatih, karena juga ada pihak lain juga berhak menentukan setelah proses merger.
Tapi setidaknya, seandainya memang Nil tak akan dipakai atau kontrak dibatalkan, bisa dibicarakan dengan baik-baik dan terbuka. Sebagai seorang profesional, Nil pun pasti bisa menerima. Tapi dengan kasus ini, wajar Nil merasa kecewa ketika profesionalitasnya seperti dilecehkan begitu saja. Ini bukan soal dia cemas dan takut kehilangan pekerjaan dan sumber mata pencaharian.
Pun Indra Sjafri, seolah tanpa bersalah menerima pinangan Bali United Pusam. Agak mengherankan, jika dia dengan santai mengatakan dia tak tahu Nil sudah melatih dan memperpanjang kontrak dengan Pusam yang sudah terang-terangan muncul di media. Yang dia tahu Bali United Pusam belum punya pelatih.
Meskipun sebenarnya sah-sah saja hal itu dalam dunia profesional, tapi setidaknya Indra juga masih punya "rasa'. Saling menghormati sebagai sejawat atau kesamaan profesi. Setidaknya dia berkomunikasi dengan Nil, itu saja sudah cukup.
Apalagi sesama orang yang berasal dari daerah yang sama, dan sama-sama dibesarkan dari tempat yang sama, yaitu sepakbola Sumatra Barat. Bahkan Nil menyebut Indra sebagai kakak sekaligus seniornya. Itulah bentuk rasa respeknya pada Indra.
Ya, bagaimanapun Indra tetaplah hanya seorang manusia biasa. Manusia yang juga butuh pekerjan, uang, dan materi untuk meneruskan hidupnya, serta memenuhi standar hidupnya yang pasti juga naik setelah berjaya di Garuda Jaya.
Pastinya setelah dipensiunkan dari Timnas U-19, tak akan cukup jika Indra hanya jualan idealisme dan patriotisme sembari mengajar bibit-bibit muda, ketika dia ditarik kesana-kemari menggelar coaching clinic untuk anak-anak usia dini.
Jadi, siapa pula yang kuasa menolak pinangan klub 'baru' yang uangnya sedang segar-segarnya. Apalagi kabarnya dikontrak dengan durasi lima tahun yang di sepakbola Indonesia itu sangat luar biasa, dan mungkin baru pertama kali ada. Bahkan seorang Indra Sjafri pun tak akan bisa menggeleng. Ya, atas nama profesional dimana-mana artinya cuma satu, uang!
Etika, respect, dan saling menghargai?