Pandangan ini mengemuka dalam semiloka wakaf “Raih Peluang Investasi Kemitraan untuk Kesejahteraan Umat” di Hotel Grand Legi, Mataram, Kamis (28/8/2014) hingga Sabtu (30/8/2014). Acara ini diselenggarakan Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama.
Acara ini dibuka dengan sambutan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Nusa Tenggara Barat M. Usman. Pematerinya antara lain Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar dan Direktur Pemberdayaan Wakaf Hamka.
Dalam sambutannya Usman menyatakan, kendala utama dalam mewujudkan wakaf produktif adalah kualitas nazhir, yang sebagian besar masih bersifat tradisional dan personal. Apabila nazhir tidak amanah dan tidak profesional, jangan pernah berharap ada peluang investasi untuk mewujudkan wakaf produktif.
“Kunci utama pemberdayaan wakaf terletak pada nazhir,” kata Usman.
Menurut Nasaruddin Umar, wakaf lebih bisa diandalkan daripada zakat untuk memajukan perekonomian umat Islam, bahkan untuk pengentasan kemiskinan. Pengalaman di negara-negara Timur Tengah, seperti Mesir dan Uni Emirat Arab, bisa menjelaskan begitu potensialnya peran wakaf bagi perekonomian nasional mereka.
Faktor lainnya, menurut Nasaruddin Umar, wakaf lebih longgar peruntukannya dan tidak dibatasi jumlahnya. Harta zakat hanya boleh disalurkan untuk delapan golongan, sedangkan manfaat dan keuntungan wakaf boleh disalurkan kepada siapa saja sesuai dengan kehendak wakif.
Terkait dengan pengembangan wakaf produktif, Nasaruddin Umar mengingatkan pentingnya mempertimbangkan kearifan lokal. Nazhir dan investor harus memperhatikan latar belakang sosial dan kultural suatu daerah ketika melakukan investasi atas suatu harta wakaf.
“Pemberdayaan Wakaf yang dilakukan oleh kita, di mana pun, harus mempertimbangkan kearifan lokal,” tutur Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini. Jadi, nazhir tidak hanya harus kreatif dan produktif, tetapi juga harus mempertimbangkan kearifan lokal.[]
Penulis: Nurkaib Sumber: Bimas Islam