Indonesia memiliki tantangan berat untuk mewujudkan pendidikan inklusi yang layak. Penyebabnya karena kurangnya GPK (Guru Pendamping Khusus), kurangnya pendampingan ABK (anak berkebutuhan khusus), dan belum masifnya penerapan norma atau aturan NSPK Akomodasi Layak Inklusi di sekolah inklusi. Data Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2018 mengindikasikan bahwa, di Indonesia hampir 3 dari 10 anak dengan disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan. Saat ini, anak usia 7-18 tahun dengan disabilitas yang tidak bersekolah mencapai angka hampir 140.000 orang (unicef.org). Berhubungan dengan isu diatas, Tim Riset Group Kewarganegaraan Pemberdayaan Masyarakat Inklusif dan Intervensi Sosial atau KPMIIS Sosiologi Fisip UNS yang di ketuai oleh Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si menuangkan ide melalui produk mereka yaitu Rumah Inklusi sebagai tempat memberdayakan isu-isu inklusif. Senada yang disebutkan oleh data Unicef Indonesia, saat ini anak berkebutuhan khusus (ABK) masih belum mendapatkan pendampingan terstandar dari keluarga dan sekolah. ABK berhak mengenyam pendidikan sejak usia dini agar mendapatkan pendampingan dan asessmen. Sebagian besar mereka memiliki potensi dan bisa berprestasi di berbagai bidang. Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus (YLPAF) menjadi salah satu dari beberapa lembaga pendidikan yang ada di Surakarta dengan mengadopsi konsep sekolah inklusi dalam sistem pembelajarannya. Sistem pembelajaran ini merupakan sebuah cara untuk menggabungkan anak berkebutuhan khusus dengan anak non berkebutuhan khusus yang belajar dalam satu kelas. Namun kebijakan ini masih banyak kendala dalam penyelenggaraannya. Salah satu kendala yang dihadapi yaitu kurangnya GPK (Guru Pendamping Khusus) dan belum adanya aturan atau NSPK Akomodasi Layak Inklusi. Â
KEMBALI KE ARTIKEL