Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Pitonan - yang Unik di Masa Udik

26 September 2010   08:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:57 1200 0
Postingan ini hanya sebagai ajang berlatih ujian akhir. Sedikit punya cerita, salah satu bentuk ujian akhir semester saya berupa paper mengenai fenomena bahasa di daerah asal. Nah, karena saya berasal dari Kalangbret, Tulungagung,  sebuah desa kecil yang notabene penduduknya terlalu banyak yang renta karena kebanyakan para pemudanya justru bersenang-senang di luar kota (termasuk saya), saya akan sedikit saja mengulas tentang sebuah tradisi yang alhamdulillah sampai sekarang masih dipertahankan. Namun yang saya bingungkan, sepertinya paper saya nanti akan sedikit melenceng dari tujuan semula, yaitu bentu-bentuk fenomena bahasa di daerah asal. Saya sedikit khawatir, jangan-jangan isi paper saya nanti malah mengenai seluk beluk dan tetek bengek pitonan, bukan istilah-istilah yang ada dalam pitonan. Namanya pitonan, dari kata pitu yang berarti tujuh. Pitonan ini merupakan suatu tradisi, lebih tepatnya upacara, untuk merayakan tujuh bulannya seorang anak ketika dia sudah lahir, bukan ketika masih di dalam kandungan. Inilah bedanya pitonan di desa saya denganpitonan atau mitoni di daerah lain. Langkah upacara pitonan ini adalah:

  • Adik bayi yang berusia tujuh bulan tersebut dimandikan dengan  air yang dicampur dengan bunga setaman. Istilah bunga setaman ini muncul karena bunga yang digunakan adalah bunga-bunya yang ada di taman si empunya upacara, seperti bunga mawar, melati, bugenvil, dan beberapa bunga rumput. Kebetulan, rumah saya tidak banyak bunga, jadi beberapa dari bunga itu epek (metik) dari pekarangan keluarga yang lain. Oh iya, tidak lupa, nenek-nenek yang memandikan juga membacakan doa yang saya belum jelas doa apa saja yang dibaca. Yang saya dengar adalah hewes hewes hewes. Nenek yang memandikan pun ndak sembarangan. Musti nenek yang sudah dipercaya memegang anak kecil, maksudnya yang sudah berpengalaman “sayang” kepada anak kecil.
  • Setelah adik bayi berusia tujuh bulan itu selesai dimandikan, adik bayi itu lalu didandani: dipupuri, diberi pakaian yang bagus, dan diberi mahkota dari janur. Dipupuri itu diberi bedak, tapi bukan sembarang bedak, melainkan bedak bayi yang wangiiii….lalu dipakaikan baju yang bagus (biasanya baju baru): kalau cewek pakai rok, kalau cowok pakai celana (oh iya, kalau cewek sudah ditindik telinganya). Dandan terakhir, dipakaikan mahkota dari janur. Mahkota ini ndak bernama, tapi bermakna: semoga adik bayi ini nanti bisa menjadi pemimpim seperti raja.
  • Sesi mempercantik dan memperganteng diri selesai. Adik bayi yang sudah seperti bidadari dan malaikat itu kini digendong orang tua dan berfoto ria.
  • Selesai berfoto… beralih ke sebuah tempat yang cukup lapang. Ada dua benda di sana, tangga dari tebu yang dihias kertas sumbo (saya tidak begitu tahu namanya. Pokoknya kertas itu kalau dimasukkan ke air, airnya akan berwarna seperti kertas itu. Ya merah, hijau, kuning) dan kurungan yang juga berhias kertas sumbo plus ayam jago di dalamnya.
  • Setelah naik tangga sebagai lambang langkah menuju surga… saatnya masuk ke kurungan ayam. Lagi-lagi, adik bayi ini ndak sendirian. Dia musti ditemani oleh orang lain, bisa sodara bisa tetangga. Yang pasti sang penemani itu harus anak kecil. Maksimal usia anak kelas empat SD.
  • Di dalam kurungan itu hanya ada ayam, tak ada benda lain. Itulah bedanya dengan upacara tujuh bulanan yang lain. Pitonan di desa saya ini tak ada acara memilih benda, yang ada adalah memegang benda. Dan benda itu adalah ayam jago. Ini sebagai lambang keberanian, karena manusia sekecil itu harus berani memegang ayam, juga makna dari ayam jago itu sendiri yang bagi masyarakat di desa saya sebagai lambang seorang pemberani.
  • Sesi cita-cita surga dan keberanian selesai… saatnya sesi membagi-bagi rejeki. Ini adalah sesi yang paling-paling-paling ditunggu oleh para tetangga. Sesi bagi-bagi rejeki ini ada dua bagian: yaitu selamatan yang dihadiri anak-anak dan selamatan yang dihadiri bapak-bapak.
  • Selamatan anak-anak ini namanya kenduren lumpang (kenapa namanya kenduren lumpang? wahh…ini kesalahan saya! Saya lupa bertanya apa arti frasa ini. Padahal ini termasuk penting kan yaaaa…). Di kenduren lumpang ini, anak-anak yang sudah sejak awal melihat proses pitonan adik bayi, mulai dari mandi hingga masuk kurungan ayam jago, diberi makanan dalam pincukan. Isi makanannya: nasi, sayur pepaya, lalapan tumpang (parutan kelapa, kecambah, dan kangkung), sayur tahu, telor, dan ayam. Oh iya, sebelum diberi makanan ini, ada tradisi yang sangat disukai anak kecil… yaitu sebaran duit (menyebar uang). Nenek atau bibi dari adik bayi itu menyebar uang receh yang diletakkan di besek (tumbu, dulunya tempat mencuci beras) yang berisi beras yang diberi pewarna kuning, bunga, dan uang receh. Dulu waktu saya kecil, uang recehnya berupa pecahan 25 hingga seratus rupiah, tapi sekarang berkembang menjadi lima ratus hingga seribu rupiah. Juga ada kompetisi: siapa yang paling banyak meraup uang, dialah pemenangnya. Uniknya, tak ada hadiah atau imbalan atau sesuatu untuk diberikan kepada pemenang ini. Bagi anak-anak itu, kebanggaan saja sudah cukup.
  • Selesai kenduren lumpang, anak-anak itu pulang: makan dengan lahap di rumah dan membelanjakan uang hasil jerih payahnya). Sisa pitonan dibersihkan karena selamatan gedhe akan dilangsungkan.
  • Mereka adalah bapak-bapak sekitar rumah sang empunya pitonan. Selamatan seperti kenduri biasa: berisi doa agar adik bayi yang dipitoni bisa sukses dunia akhirat. Sesuatu yang akan terus menemani ke mana pun adik bayi itu pergi, tumbuh, dewasa, dan melangkah jauh: doa dari mereka yang pagi itu merasa sangat bersyukur mendapat sarapan gratis. Terlepas dari itu, masyarakat di desa saya masih memiliki kadar kebersamaan tinggi: kesenanganmu adalah kesenangan kami).
  • Dengan berakhirnya selamatan orang dewasa, berakhir sudah upacara pitonan bagi adik bayi X pagi itu.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun