DI banyak media, sekarang disebut utang politik. Konon, kata banyak media belakangan ini, terjadi pada Presiden dan Ical (Abu Rizal Bakrie) yang salah satu pengusaha terkaya di negeri ini. Rakyat memang tidak tahu persis, tapi logika, sumber-sumber yang ada, dan perkembangan politik yg terjadi, membuat itu tercuat dan jadi terbuka.
Di tahun-tahun terakhir, biaya, gegap gempita dan keriuhan kampanye semakin menggila. Semua peserta semakin jor-joran membabi buta dengan segala cara. Tujuannya, jangan sampai kalah dari lawan dan agar jadi pemenang. Biaya organisasi pendukung, rapat-rapat besar, tim sukses, promosi, kunjungan, biaya pendukung bayaran, kampanye langsung.....tak terbayangkan jumlah angkanya. Pilkada saja pasti besar, apalagi pilpres. Pernah kata sebuah media massa biaya kampanye pilpres sebuah partai menembus angka triliun. Fantastis. Demi menang sebagai pengelola negeri milik rakyat. Jadi, sepertinya menang bukan lantaran rakyat benar-benar percaya dan memang bisa dpercaya. Tapi bisa jadi karena promosi citra yang hebat. Rakyat memilih yang mereka rasa paling bisa dipercaya diantara para calon yang ada, meski dengan rasa ragu-ragu dan hanya pasrah. Apakah sebenarnya mereka memilih bandit atau malaikat. Cuma berharap dan pasrah...akan keadaan negeri mereka sendiri.
Tentang para calon pengelola negeri, kampanye , dan rakyat. Apakah rakyat diberitahu bahwa semua kegiatan partai dan kampanye itu perlu uang sangat banyak? Apakah diberi tahu biaya partai dan kampanye itu dari mana? Diberi tahu bahwa sebagai pengelola negeri kelak pemenang harus mengembalikan hutang politik yang sangat banyak kepada penyumbang/cukong yg membiayai? Berupa fasilitas, jabatan atau apapun. Dan semua itu tentu akan menggunakan milik/uang/sumber daya milik rakyat? Dibayar pakai apa lagi kalau bukan pakai milik sumber daya milik rakyat? Apakah Rakyat diberi tahu semua itu? Apakah begitu? Apakah pernah?
Reformasi sudah pernah dimulai. Banyak korban sudah ditelan. Tapi keadaan bukan semakin baik. Pemilihan, terutama pilpres, semakin tidak rasional. Entah biaya dari mana/siapa, entah nanti harus mengembalikan hutang politik, entah nanti bayar pakai uang rakyat. Yang penting paling bisa memikat rakyat, dan menang. Kenapa jadi begini hasil reformasi?
Kampanye dengan menawarkan visi, pekerti, rekam jejak, kinerja, dan memegang kepercayaan rakyat dengan membiarkan rakyat mengawasi langsung (dengan sistem yang dibentuk terbuka, tidak perlu lewat DPR), apakah tidak bisa dilakukan? Haruskah kampanye itu mebyar-mebyar dengan biaya cukong? Yang kelak harus dikembalikan dengan milik rakyat......?
Demikian sekilas pendapat...mohon maaf bila banyak kekurangan. Salam...