Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Soekarno: Sang Orator yang Baik dan Benar

10 Juni 2014   17:57 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:25 1313 0
Saya mengikuti lomba pidato pada saat saya duduk di bangku SMA. Saya berpartisipasi dalam lomba tersebut sebanyak dua kali. Tak satupun saya masuk jajaran juara. Runner saja tidak, apalagi juara satu.

Pada masa itu, anggapan saya pidato identik dengan orang sastra. Saya selalu menduga teman-teman dari jurusan Bahasa dan Sastra selalu keluar sebagai pemenang. Waktu itu ada seniorku dari kelas Bahasa dan Sastra, Sisco Dour, pandai membawakan puisi dan berorasi. Untaian kalimatnya mengalun indah. Aksentuasi kata tepat terujar.

Ternyata seni adalah ruang terbuka. Siapa saja, dari jurusan apa saja bisa akses dan mengapresiasikan seni tersebut. Ini dibuktikan oleh teman sekelas saya, Yoseph A. Susanto. Ia menjadi pemenang lomba pidato setelah sekian tahun 'dikuasai' oleh kelompok Bahasa dan Sastra. Ia menjadi kebanggaan kami, kelas IPA, pada jaman itu.

Kepiawaian orator adalah pemilihan diksi dan merangkaikan kalimat yang anggun serta intonasi pengujaran yang mendayu dan membakar emosi pendengar. Soekarno adalah sosok yang memainkan peran orator yang sempurna. Pilihan kata tepat sasar. Aksentuasi kata dan suaranya menggelar. Kutipan-kutipan peribahasa atau ucapan tokoh mengambarkan radius pengetahuan yang luas. Suaranya menggelar gapai langit, isinya menyentuh bumi. Gesture tubuh yang serieama kata-kata yang menggelegar. Mendengar pidato Soekarno adalah kerinduan rakyat. Karena mampu membakar emosi dan heroikisme rakyat. Mendengar rekaman pidato saja bulu badan penulis merinding karena magis energi kata yang berpijar.

Pada Pilpres 2014, bangsa Indonesia dihadapkan dengan pemimpin yang berhaluan 'soekarnism' baik filosofi maupun atributnya. Baik Jokowi maupun Prabowo merujuk pada the founding father ini. Misalnya Jokowi dengan program Nawacita, terinspirasi program Nawaksara Soekarno. Prabowo meniru busana, microphone dan cara beroratosi.

Sebenarnya kepiawaian berpidato adalah soal latihan. Tidak harus sekolah. Soekarno sendirinya pada masa kecil melakukan latihan berorasi. Sang gurunya adalah HOS Tjokroaminoto yang kemudian menjadi mertuanya. Memang dasarnya Soekarno cerdas (entah berapa IQ-nya waktu itu hehe...), latihan hanya menyempurnakan talenta yang dimilikinya.

Jika kita menelusuri sejarah, pidato, selain seni juga media perlawanan ketidakadilan. Soekarno melalui orasinya melakukan perlawan politik kepada penjajah. Marthin Luther King Jr melakukan aksi kepada rasisme di AS. Dan masih banyak tokoh masa lampau yang piawai dalam berpidato.

Kekuatan pidato tidak semata-mata pada sosok orator yang karismatik. Wajah tampan. Suara yang menghentak-hentak. Atau kemampuan merangkai kata. Daya pijar orator harus mampu merambat pendengar. Orator juga seperasaan dengan pendengar. Sebuah pidato menjadi hilang makna dan dayanya jika apa yang diucapkan jauh sikap dan tindakan pengucap.

Kita bisa menjadi orator yang baik. Mengikuti teori menyusun pidato yang benar. Kita melafalkan kata dengan tepat. Berbusana yang menawan. Namun, kita belum bisa menjadi ORATOR yang BENAR. Orator yang benar harus mengungkapkan fakta atau kebenaran. Sebagaimana Soekarno, Mathin Luther King Jr, dan lain-lain, mengungkapkan KEBENARAN; HAKIKAT KEMANUSIAN dan menentang PENINDASAN. Orator yang BENAR tidak menari-nari di atas kertas dalam balutan kalimat yang indah. Ia harus mengungkapkan KEJUJURAN dalam kata dan tindakan. Karena orasi adalah seni perlawanan.

Orator yang BAIK hanya mampu menarik simpatik supaya dilihat baik, meskipun ia mengabaikan kebenaran. Masyarakat pun dibutakan oleh kebaikan dalam kata dan sikap berorasi.

KEBAIKAN dan KEBENARAN adalah dua kata yang tak dipisahkan. Satu dan lainnya saling meneguhkan dan menyempurnakan. Hanyalah Soekarno, orator yang baik dan benar dalam kata dan tindakan. Ia lahir dan mati di bumi pertiwi. Seperti cintanya yang tertuang dalam lembaran-lembaran orasinya. Ia tidak melarikan diri dan bersembunyi menyaksikan rakyatnya lirih dalam cengkraman penjajah. Ia dibuang kemana-mana oleh penjajah karena kata-kata yang bertuah dalam orasinya. Kata-katanya lebih tajam daripada pedang atau laras yang mampu memusnahkan penjajah enyah dari pertiwi. Bukan membunuh rakyatnya sendiri. Jiwa dan raganya untuk pertiwi. Tidak separuh hati untuk mengabdi.

Dewasa ini, kita sulit mendapatkan sosok seperti Soekarno, ORATOR yan BAIK dan BENAR. Lebih banyak dijumpai sosok-sosok yang ibarat sedang berlomba pidato seperti saya, sahabat saya Ardi dan Sesco yang diuraikan di awal tulisan ini. Secara teoritis baik tetapi kami belum benar untuk nengawinkan kata dan perbuatan. Kami sebatas mengkhayal karena sekedar ikut lomba. Semoga Pilpres kali ini tidak seperti lomba pidato! Semoga pemimpin menjadi dirinya masing-masing. Apa adanya. No drama!.***(gbm)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun