Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Pelayanan Penerbangan di Indonesia Kurang Ramah Terhadap Kaum Difabel

21 November 2014   18:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:13 147 0
(Catatan untuk Garuda Airlines dan Seluruh Maskapai di Tanah Air)

Pulang pergi Ende saya naik pesawat yang sama. Garuda. Dari Kupang, saya merasa nyaman. Dari Ende justru terjadi sedikit masalah. Terjadi pertengkaran seru dengan petugas bandara dan pramugara di dalam pesawat.

Ceritanya demikian. Teman seperjalan minta saya duduk di kursi dekat jendela. Saya pun sepakat. Karena saya bisa memandang keluar jendela. Tiba-tiba petugas bandara datang. Pertama ia meminta tas saya untuk diletakan di bagasi. Saya protes dan bertanya mengapa harus diletakan di bagasi. Bukannya tas saya bisa diletakan cabin? Petugas bandara tidak bergeming. Kemudian ia sisipkan tas saya di cabin yang sudah penuh sesak oleh tas penumpang lain.

Kedua, petugas yang sama meminta saya pindah posisi duduk. Dari kursi dekat jendela ke kursi dekat lorong. Lagi, saya protes. Petugas tersebut tidak menjawab. Hingga dua kali ia meminta saya pindah tempat duduk, tetapi saya bersikukuh pada posisi semula. Ia lalu memanggil pramugra. Permintaan yang sama. Teman saya bilang tidak apa-apa, dia teman saya. Sang pramugari menimpalinya.

"Ini bukan soal teman atau bukan, tetapi standar keselamatan. Jika terjadi keadaan darurat, bapak ini yang kami dahulukan evakuasi."

Nah, ini yang buat saya agak kesal dan membalasnya.

"Bicara prosedur seharusnya kalian lakukan dari awal. Saya seharusnya mendapat pelayanan khusus. Kenyataannya, saya tidak menjadi skala prioritas. Saya justru orang terakhir yang meninggalkan ruang tunggu. Petugas di sekitar ruang tunggu pun tidak peduli dengan saya. Saya tidak menuntut perlakuan khusus. Saya ngotot karena kalian bicara standar dan prosedur keselamatan.Biar kalian tahu saya bukan baru kali ini naik pesawat. Jangankan penerbangan domestik, saya sudah mengalami penerbangan internasional berulang kali." Timpal saya.

Petugas bandara dan pramugara tidak berkutik. Pramugara balik ke belakang sedangkan petugas bandara tetap berdiri.

"Kalau begitu saya ambil tongkat bapak. Kami letakan di belakang." Kata petugas itu.

"Silahkan. Tidak masalah." Balas saya.

Saya taat prosedur. Tetapi saya juga bisa melawan jika prosedur itu tidak dijalankan sejak awal. Alasan pindahkan saya ke kursi dekat lorong 'kurang' masuk akal. Demi keamanan, seharusnya saya duduk di kursi dekat pintu keluar darurat. Itu lebih tepat. Lebih dekat ke pintu keluar.

Beberapa kali saya melakukan perjalanan domestik maupun internasional standar keselamatan yang dimaksud tidak pernah konsisten. Quantas yang terkenal dengan security system menempatkan saya di kursi dekat jendela. Ketika boarding, saya dan beberapa lansia didahulukan. Duduk sesuai nomor kursi. Bahkan petugas menawarkan kursi roda (wheel chair) baik dari ruang check in menuju ruang tunggu maupun dari ruang tunggu menuju pesawat.

Pada saat liburan saya menumpang Virgin Airlines. Saya pernah pindah tempat, persis dekat jendela. Pramugari tidak persoalkan. Ketika saya kembali ke Australia, saya naik pesawat Air Asia. Saya duduk di seat tengah, diapit 2 orang penumpang. Bahkan tongkat saya tidak diambil oleh pramugari untuk diletakan di cabin. Tidak jadi soal. Pramugari tidak singgung soal safety.

Dengan pengalaman naik pesawat berbagai maskapai nasional maupun internasional, saya sepakat semua memegang teguh prinsip safety. Tetapi, syarat penumpang berkebutuhan khusus harus duduk di seat dekat lorong merupakan hal aneh bagi saya. Toh, kalau mau taat prosedur tersebut seharusnya proses dari awal. Bukannya, penumpang sudah duduk lalu disuruh pindah ke sana kemari. Bagi saya naik pesawat bukan saja soal safety melainkan juga kenyamanan (comfort) penumpang. Saya justeru beberapa kali naik pesawat tujuan luar negeri ketika check in, malah petugas memberikan pilihan buat saya; pilih seat dekat jendela atau tidak?

Saya tetap apresiasi kepada Garuda dalam pengaturan penumpang boarding. Sistim kontrol penumpang menggunakan warna sticker efektif mengerem ketidakdisplinan penumpang Indonesia yang tidak memiliki budaya antri. Sayangnya, kepedulian dan prioritas pelayanan terhadap penyandang cacat dan lansia terabaikan. Contohnya, penulis dalam perjalanan pulang dari Ende ke Kupang beberapa hari yang lalu. Menjadi orang yang terakhir boarding. Padahal saya sengaja berdiri untuk memancing reaksi petugas di situ. Ternyata tidak ada reaksi sedikit pun dari mereka. Saya kira petugas bandara dan pramugara tersebut sangat pantas menerima 'kotbah' singkat saya di atas pesawat.

Keamanan penting, tetapi kenyamanan lebih penting. Dimana pun posisi duduk jika Tuhan berkehendak kita mati, ya mati. Tetapi berkaitan dengan jasa, penumpang harus dijamin nyaman. Karena kenyamanan sudah melingkupi keamanan. Karena nyaman, orang merasa aman. Tidak soal penumpang duduk di seat mana saja.

Secara pribadi, saya tidak membutuhkan pelayanan ekstra istimewa. Saya pribadi yang mandiri. Yang saya sedikit kesal ketika berargumen dengan saya singgung soal standar dan prosedur safety. Sementara penulis jelas-jelas tahu mereka setengah hati melaksanakan protap. Ya, mereka kira penulis baru naik pesawat kali itu. Susah. Menilai orang dari fisik lalu menjudge.

"Biar kalian tahu. Saya bukan naik pesawat baru kali ini saja. Qantas, Virgin, JetStar, Air Asia, dan tak terhitung maskapai nasional." Jawab saya sedikit pongah karena kesal - sebelum petugas bandara dan pramugara meninggalkan lorong.

Harapan saya, garuda harus menjadi maskapai terdepan yang ramah terhadap penumpang berkebutuhan khusus dan terus meningkatkan mutu pelayanannya. Semoga!***(gbm)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun