Nusantara, sebutan bagi negara Indonesia merupakan cermin bagi potensi pertumbuh-kembangan negara, potensi maritim terkhusus pada potensi di area pesisir. Potensi area pesisir selayaknya diintegrasikan dengan manajemen dan kebijakan ataupun peraturan yang baik agar tercipta keberlanjutan antar aspek dan komponen yang terdapat di pesisir tersebut, baik dari lingkungan hingga masyarakat atau industri terkait. Manajemen pesisir yang tidak didasarkan pada peraturan seperti Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah terkait pemanfaatan linkungan, manajemennya dan pengelolaan limbah dapat memunculkan permasalahan dan risiko bagi keberlanjutannya. Oleh karena itu, melalui karya ilmiah ini akan dibahas mengenai integrasi peraturan pemerintah kepada berbagai pihak yang seharusnya dilakukan untuk menciptakan lingkungan pesisir yang berkelanjutan khususnya kawasan pesisir Kabupaten Banyuwangi dan Probolinggo yang menjadi studi kasus pada karya ilmiah ini.
Kata Kunci: Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Probolinggo, Manajemen Pesisir, Nusantara, Undang-Undang
PENDAHULUAN
Indonesia, sebagai negara dengan kepulauan, memiliki garis pantai yang panjang dan beragam sumber daya. Pentingnya pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan agar dapat memberikan manfaat yang langgeng. Peran sumberdaya pesisir diperkirakan akan semakin meningkat di masa mendatang untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional, regional, dan lokal. Oleh karena itu, agar dapat mengoptimalkan pemanfaatan ruang dan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan, diperlukan pemahaman mendalam mengenai pengertian dan karakteristik kawasan ini serta penduduk yang tinggal di dalamnya. Pengelolaan wilayah pesisir melibatkan penilaian menyeluruh, penetapan tujuan dan sasaran pemanfaatan, serta perencanaan dan pengelolaan segala kegiatan pemanfaatannya terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan pesisir.
Kota merupakan suatu area geografis di mana sejumlah penduduk tinggal dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Kegiatan utama di kota fokus pada sektor non-agraris, dan kota ini dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang lebih baik daripada kawasan sekitarnya (Azwar, 2003). Teori lokasi adalah bidang ilmu yang mengkaji tata ruang kegiatan ekonomi atau alokasi geografis sumber daya potensial, serta hubungannya dengan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial lainnya (Tarigan, 2005).
Kawasan pesisir adalah area daratan yang erat kaitannya dengan lautan, dan pengembangannya terkait erat dengan pengembangan wilayah secara keseluruhan. Penataan ruang tetap menjadi fokus dalam pengembangan kawasan pesisir, baik sebagai kawasan budidaya, kawasan lindung, atau kawasan tertentu, dengan tujuan memberikan kesejahteraan masyarakat sambil menjaga kelestarian lingkungan (Rahardjo Adisasmita, 2006).
Wilayah laut dan pesisir, bersama dengan sumber daya alamnya, memiliki signifikansi strategis dalam pembangunan ekonomi Indonesia, menjadi salah satu pilar utama ekonomi nasional. Menurut Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003), wilayah pesisir dihuni oleh lebih dari 110 juta jiwa atau sekitar 60% dari total penduduk Indonesia, yang tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Wilayah ini dianggap sebagai awal dari perkembangan urbanisasi Indonesia di masa depan. Secara administratif, sekitar 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten terletak di pesisir, dan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah memiliki wewenang lebih luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
Kawasan Pantai adalah batas antara daratan dan lautan, dengan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi dan lautan dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Indonesia, terutama di wilayah pesisir, memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah. Pengelolaan sumber daya ini harus sesuai dengan aturan dan tidak boleh diabaikan. Kawasan pantai perlu dimanfaatkan secara teratur dan sesuai peraturan, menghindari eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang ada. Meskipun dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi, seperti sari laut (udang, ikan, rumput laut, dll.), pengambilan harus mematuhi aturan dan tidak boleh dilakukan sembrono.
Setiap wilayah pantai memiliki karakteristik dan permasalahan yang berbeda, sehingga penanganannya juga harus disesuaikan. Kewenangan pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan tercakup dalam berbagai peraturan (sektoral), termasuk pariwisata, lingkungan, tata ruang, pertanahan, pertambangan, kehutanan, dan lainnya (Ahmad Djunaedi, 2002:10). Selain memanfaatkan sumber daya laut, pengelolaan kawasan pantai juga harus memperhatikan kebersihan sekitar. Dengan menjaga kebersihan, daya tarik pantai dapat meningkat, menarik lebih banyak pengunjung. Kawasan pantai tidak hanya dimanfaatkan untuk sumber daya laut, tetapi juga sebagai tempat untuk kegiatan sosial, termasuk acara keagamaan dan kegiatan lain yang tidak merusak kawasan pantai, seperti yang terjadi di Pulau Bali.
Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir adalah kelompok manusia yang bermukim di sekitar garis pantai sebagai tempat mereka menjalani kehidupan sehari-hari. Pemerintah terus melakukan berbagai upaya pengembangan untuk meningkatkan sektor pariwisata dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Salah satu strategi yang diterapkan adalah pembangunan pelabuhan dan infrastruktur. Meskipun demikian, pembangunan yang dilakukan belum mencakup seluruh aspek yang signifikan di kawasan pesisir. Adanya penumpukan sampah di wilayah pesisir menjadi bukti nyata bahwa masih banyak aspek yang belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah.
Ketidakpedulian terhadap pengelolaan sampah dapat mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan yang merugikan kenyamanan hidup dan mengurangi kualitas kesehatan masyarakat. Sampah menjadi beban bumi dengan risiko-risiko yang mungkin timbul (Hadi, 2005). Sampah, menurut Kodoatie (2003), adalah limbah padat atau setengah padat yang dihasilkan dari kegiatan perkotaan atau dari siklus kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Undang-Undang No.18 tahun 2008 mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau hasil alam yang berbentuk padat. Sampah adalah materi sisa yang tidak diperlukan setelah suatu proses selesai. Dalam konteks ini, sampah adalah produk buatan manusia; dalam proses alam, tidak ada sampah, hanya produk yang tak bergerak (Kementerian Lingkungan Hidup, 2008).
Permasalahan limbah atau sampah di daerah pantai memerlukan perhatian dan solusi yang tepat. Sampah merupakan hasil sisa yang tidak terpakai yang berasal dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Akumulasi limbah di pesisir pantai sering kali dipengaruhi oleh aktivitas pariwisata. Meskipun kunjungan wisatawan memberikan dampak positif pada sektor ekonomi, namun juga seringkali membawa dampak negatif, seperti peningkatan jumlah sampah. Praktek pembuangan sampah sembarangan oleh wisatawan, baik di sepanjang pantai maupun di laut, menjadi salah satu penyebab utama. Penjual di kawasan pantai juga berkontribusi pada penumpukan sampah, dan perilaku pembuangan sampah oleh masyarakat pesisir turut menyumbang pada masalah ini. Selain itu, pembuangan limbah di sepanjang aliran sungai oleh masyarakat dan industri juga menjadi penyumbang signifikan terhadap penumpukan limbah di kawasan pesisir, terutama di daerah muara sungai.
Marine Debris
Sampah laut adalah jenis limbah yang terdapat di perairan laut, mencakup berbagai material seperti plastik, logam, kaca, dan bahan-bahan lainnya yang dapat merugikan lingkungan laut. Sampah ini dapat berasal dari aktivitas manusia di daratan yang mencemari sungai, atau langsung dari kegiatan kelautan seperti nelayan dan kapal-kapal, serta melibatkan berbagai jenis limbah seperti mikroplastik hingga barang-barang besar.
Sumber utama sampah laut adalah aktivitas manusia, termasuk pembuangan sampah secara tidak bertanggung jawab. Sampah dari daratan bisa mencapai laut melalui sungai dan aliran air. Selain itu, industri perikanan dan pelayaran juga menyumbang signifikan terhadap masalah sampah laut, dengan peran pentingnya plastik sebagai komponen dominan dalam limbah laut. Sampah laut memiliki karakteristik yang bervariasi, mulai dari partikel-partikel mikroplastik hingga barang-barang besar seperti jaring ikan dan kapal yang terbuang. Plastik, dengan ketahanan terhadap dekomposisi alami yang tinggi, menjadi salah satu komponen sampah laut yang paling merugikan. Karakteristik lainnya termasuk kemampuan untuk merusak ekosistem laut dan membahayakan flora dan fauna laut.
Indonesia menghadapi sejumlah tantangan dalam menanggulangi permasalahan sampah laut. Kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah, rendahnya kesadaran masyarakat akan dampak buruk sampah plastik, dan tingginya tingkat konsumsi plastik menjadi hambatan utama. Selain itu, kurangnya koordinasi antarinstansi dan regulasi yang belum optimal turut memperumit upaya penanganan sampah laut di Indonesia. Dalam menanggulangi sampah laut, pemerintah Indonesia perlu memperkuat regulasi terkait pengelolaan sampah dan mendorong implementasi kebijakan yang mendukung pencegahan dan pengurangan sampah laut. Investasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan ramah lingkungan juga menjadi kunci. Penguatan penegakan hukum terhadap pembuangan sampah ilegal dan kerjasama lintas sektor akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih bersih.
Instansi terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pemerintah daerah perlu berkolaborasi untuk menyusun kebijakan yang terintegrasi dan efektif. Inisiatif kampanye edukasi masyarakat mengenai bahaya sampah laut serta promosi gaya hidup berkelanjutan juga penting agar masyarakat dapat berperan aktif dalam menjaga kebersihan laut. Mobilisasi partisipasi masyarakat dalam upaya pengelolaan sampah laut perlu ditingkatkan. Pendidikan lingkungan sejak dini dan program-program kesadaran lingkungan di sekolah dapat membentuk generasi yang peduli terhadap masalah ini. Program insentif bagi masyarakat yang aktif dalam kegiatan pembersihan pantai dan pemilahan sampah juga dapat mendorong partisipasi aktif.
Penggunaan teknologi dan inovasi dalam pengelolaan sampah laut dapat memberikan solusi yang berkelanjutan. Pengembangan teknologi daur ulang untuk material seperti plastik, penelitian lebih lanjut tentang cara mengatasi mikroplastik, dan penerapan teknologi pengumpulan sampah laut secara efektif dapat menjadi bagian dari solusi. Pemerintah dapat mendukung riset dan pengembangan teknologi ini melalui insentif dan kolaborasi dengan sektor swasta.
Sampah laut adalah masalah global yang memerlukan kerjasama lintas negara. Pemerintah Indonesia dapat memperkuat kerjasama dengan negara-negara tetangga dan lembaga internasional untuk pertukaran informasi, teknologi, dan sumber daya. Ini akan membantu menciptakan strategi bersama dan mendukung upaya global untuk mengatasi sampah laut. Pemerintah perlu memperkuat sistem monitoring dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan dan program pengelolaan sampah laut. Dengan pemantauan yang efektif, pemerintah dapat mengidentifikasi keberhasilan dan hambatan dalam upaya penanganan sampah laut serta melakukan penyesuaian yang diperlukan. Dengan mengadopsi pendekatan yang terintegrasi, berbasis ilmiah, dan melibatkan berbagai pihak, pemerintah Indonesia dapat menghadapi tantangan sampah laut dengan lebih efektif. Langkah-langkah ini tidak hanya akan memberikan manfaat jangka pendek dalam membersihkan perairan Indonesia, tetapi juga berkontribusi pada pelestarian keanekaragaman hayati laut dan kesejahteraan masyarakat di masa depan. (Sheavly dkk, 2007; Iniguez dkk, 2016)
PEMBAHASAN
UU 27 tahun 2007 juncto UU no 1 tahun 2014 (UU PWP – PPK)
Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan landasan hukum untuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. UU ini kemudian mengalami perubahan melalui UU No. 1 Tahun 2014. Perubahan ini mencakup berbagai aspek, termasuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, izin lokasi dan izin pengelolaan, kewenangan pemerintah, serta pelatihan dan pengembangan terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Salah satu aspek yang diatur dalam UU tersebut adalah pengelolaan sampah laut di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. UU ini memberikan landasan hukum untuk pengaturan mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan kepada setiap orang dan masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dengan demikian, UU No. 27 Tahun 2007 juncto UU No. 1 Tahun 2014 memberikan dasar hukum yang kuat untuk pengelolaan marine debris melalui pengaturan-pengaturan yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan kawasan pantai yang efektif, sesuai dengan peraturan, akan menghasilkan peningkatan daya tarik kawasan pantai, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan bagi warga lokal dan daerah setempat. Pentingnya menjaga kebersihan pantai, terutama dalam pengelolaan sampah, tidak dapat diabaikan.
Pengelolaan wilayah pantai perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk memastikan keberlanjutan di masa depan. Tidak hanya untuk kepuasan saat ini, namun pengelolaan kawasan pantai juga harus mempertimbangkan aspek jangka panjang agar kawasan tetap berkelanjutan dan dapat dinikmati secara berlanjut.
Kawasan pantai sangat diminati oleh wisatawan yang mencari pemandangan indah dan menenangkan. Selain digunakan untuk pariwisata, kawasan pantai juga menjadi sumber kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat dan mendukung kepentingan daerah setempat. Namun, perlu diingat bahwa aktivitas di sekitar pantai, terutama dalam konteks pariwisata dan pemanfaatan lainnya, seringkali menghasilkan sampah yang perlu dikelola dengan baik.
UU 23 tahun  2014 (UU ttg Pemerintahan)
Undang-Undang (UU) No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan landasan hukum yang mengatur mengenai otonomi daerah, pembagian urusan pemerintahan, kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. UU ini juga mengatur mengenai pembentukan daerah otonom baru, perubahan status daerah, serta tata cara pemekaran, penggabungan, dan pemekaran kembali daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah merupakan landasan hukum yang memperkuat sistem pemerintahan di tingkat daerah. Undang-undang ini menetapkan prinsip-prinsip dasar pemerintahan daerah yang meliputi otonomi, desentralisasi, dan tata kelola yang baik. Otonomi daerah diatur agar pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola urusan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik setempat. Desentralisasi, dalam konteks ini, memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengelola sumber daya dan masalah-masalah lokal dengan lebih efektif.
Kaitannya dengan pengelolaan sampah laut, UU No. 23 Tahun 2014 memiliki dampak yang signifikan. Pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya yang diperkuat oleh undang-undang ini, dapat mengambil langkah-langkah konkret dalam mengatasi masalah sampah laut di wilayahnya. Hal ini dapat mencakup pengembangan kebijakan, program, dan proyek pengelolaan sampah laut yang berfokus pada kondisi dan kebutuhan lokal. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah dapat lebih responsif terhadap tantangan konkret yang dihadapi oleh masyarakat di sekitar wilayah pesisir dan laut.
Selain itu, UU Pemerintahan Daerah juga mengatur tentang tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk transparansi dan partisipasi masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal menjadi kunci dalam upaya pengelolaan sampah laut yang efektif. Pemerintah daerah dapat melibatkan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program pengelolaan sampah laut, memastikan adanya dukungan dan partisipasi aktif dari berbagai pihak. Dalam konteks keberlanjutan, UU No. 23 Tahun 2014 juga mencakup ketentuan-ketentuan terkait pelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Pemerintah daerah diharapkan dapat mengintegrasikan aspek keberlanjutan dalam setiap kebijakan dan program yang mereka susun, termasuk dalam pengelolaan sampah laut. Dengan demikian, undang-undang ini menjadi instrumen penting dalam mendukung upaya pemerintah daerah untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut dan pesisir.
Secara keseluruhan, UU Pemerintahan Daerah memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memperkuat peran pemerintah daerah dalam mengelola berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk pengelolaan sampah laut. Dengan memanfaatkan kewenangan dan otonomi yang diberikan oleh undang-undang ini, pemerintah daerah diharapkan dapat merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang efektif untuk mengatasi permasalahan lingkungan laut secara lokal.
UU 11 tahun 2020 (UU CIPTA KERJA – OMNIBUS LAW)
Omnibus Law atau dikenal dengan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) merupakan inisiatif penting yang diambil pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan struktural perekonomian nasional. Hal ini bertujuan untuk menyederhanakan dan menyinkronkan berbagai peraturan lintas sektor yang ada untuk memudahkan investasi, peluang usaha, dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Undang-undang ini mencakup berbagai bidang, termasuk peraturan ketenagakerjaan, investasi, dan lingkungan hidup.
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Penumpukan Sampah di Kawasan Pesisir
Penumpukan sampah di kawasan pesisir atau pantai di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor kompleks yang melibatkan interaksi antara perilaku manusia, kondisi lingkungan, dan kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai. Berikut adalah faktor-faktor  yang menyebabkan penumpukan sampah di kawasan pesisir Indonesia:
1. Kurangnya Kesadaran Lingkungan: Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan dan dampak negatif sampah pada ekosistem laut seringkali rendah di masyarakat. Minimnya edukasi dapat menyebabkan perilaku pembuangan sampah sembarangan.
2. Penggunaan Plastik Berlebihan: Masyarakat Indonesia sering menggunakan plastik dalam jumlah besar, terutama kemasan sekali pakai. Plastik sulit terurai dan seringkali mencemari pantai, membahayakan kehidupan laut, dan memperburuk penumpukan sampah.
3. Kurangnya Infrastruktur Pengelolaan Sampah: Sebagian besar wilayah pesisir di Indonesia menghadapi keterbatasan dalam infrastruktur pengelolaan sampah, termasuk sistem pengumpulan yang kurang efisien, fasilitas daur ulang yang terbatas, dan pembuangan sampah yang tidak teratur.
4. Pola Konsumsi Masyarakat: Gaya hidup konsumtif masyarakat modern, termasuk penggunaan produk plastik dan barang-barang sekali pakai, turut berkontribusi pada meningkatnya volume sampah di kawasan pesisir.
5. Ketergantungan pada Laut sebagai Sumber Pangan: Masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil laut dapat menghasilkan sampah nelayan dan limbah perikanan, yang kemudian dapat mencemari pesisir jika tidak dikelola dengan baik.
6. Aktivitas Industri: Limbah industri yang tidak dielola dengan benar dapat mencemari kawasan pesisir. Bahan kimia berbahaya dari sektor industri dapat merusak ekosistem laut dan meningkatkan penumpukan sampah.
7. Pariwisata yang Tidak Berkelanjutan: Destinasi pariwisata di pesisir seringkali mengalami peningkatan sampah akibat kunjungan wisatawan. Kurangnya pengelolaan limbah pariwisata dapat meningkatkan tekanan pada ekosistem pesisir.
8. Kondisi Geografis dan Hidrologis: Pola arus laut dan kondisi hidrologis tertentu di Indonesia dapat menyebabkan kawasan pesisir menjadi tempat akumulasi sampah dari berbagai sumber.
9. Kurangnya Penegakan Hukum: Kurangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran terkait pembuangan sampah dapat memicu perilaku sembarangan dan bertanggung jawab atas penumpukan sampah di pesisir.
10. Perubahan Iklim: Faktor perubahan iklim, seperti kenaikan suhu laut dan intensitas cuaca ekstrem, dapat memperparah masalah penumpukan sampah dengan mempengaruhi pola arus laut dan redistribusi sampah.
11. Kurangnya Inisiatif Daur Ulang: Ketidaktersediaan fasilitas daur ulang yang memadai dapat meningkatkan volume sampah di kawasan pesisir, karena barang-barang yang seharusnya bisa didaur ulang akhirnya dibuang begitu saja.
12. Pembuangan Sampah dari Sungai: Sampah yang dibuang secara sembarangan di sungai dapat mengalir ke laut dan mencemari kawasan pesisir. Pengelolaan sungai yang tidak baik dapat menjadi penyebab utama penumpukan sampah di pantai.
Penanganan masalah penumpukan sampah di kawasan pesisir Indonesia memerlukan upaya terkoordinasi melalui pendekatan holistik yang melibatkan masyarakat, pemerintah, industri, dan organisasi lingkungan untuk menciptakan perubahan positif dan menjaga keberlanjutan lingkungan pesisir.
Tinjauan Permasalahan Debris di Wilayah Probolinggo dan Banyuwangi
Gambar 3. Marine Debris di Probolinggo
Gambar 4. Marine Debris di Banyuwangi
Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur dan ujung timur  Pulau Jawa, dengan luas wilayah 5.782 kilometer persegi. Hal ini menjadikan Kabupaten Banyuwangi sebagai kabupaten/kota terbesar di Jawa Timur. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Banyuwangi memiliki 10 pulau dan panjang garis pantai  175 km. Garis pantai yang panjang menjadi keunggulan Kabupaten Banyuwangi, dan panjang garis pantai membuat Pemkab Banyuwangi dapat memaksimalkan potensi yang dimilikinya, salah satunya wisata pantai. Salah satu tempat wisata pantai di banyuwangi yang paling terkenal  adalah Pantai Pulau Merah (Purwandari et al., 2022). Pantai Pulau Merah terletak di kawasan Dusun Panther, Desa Sumberagun, Kecamatan Pesangaran, Kabupaten Banyuwangi. Menurut BPS, jumlah penduduk Kecamatan Pesangaran pada tahun 2020  sebanyak 53.373 jiwa, dengan kepadatan penduduk 67 jiwa per km2. Pulau Merah dikelola Perhutani pada Desember 2013 dengan dukungan masyarakat. Saat ini Pulau Merah dikelola oleh 4.444 pemerintah kota, suku Perkhtani, dan kelompok masyarakat (Nasita, 2016). Masing-masing pihak di atas mempunyai peran dan tanggung jawabnya masing-masing, Perhutani sebagai pemilik lahan bertanggung jawab dalam perencanaan dan pengawasan  pengelolaan objek wisata tersebut, serta Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi berperan untuk mempromosikan kehadiran Pulau Merah di dunia. Untuk menarik kunjungan wisatawan, pemerintah kota bertanggung jawab atas teknis pelaksanaan kawasan ini. Pengelolaan wisata pantai Pulau Merah sangat sukses sehingga mampu menjadi salah satu destinasi wisata utama  di kawasan banyuwangi.
Gambar 5. Pulau Merah
Sejak tahun 2013 hingga tahun 2017, rata-rata jumlah wisatawan ke Pulau Merah sebanyak 361.640 orang per tahun (Susiana, 2018). Tingginya jumlah pengunjung ke Pulau Merah tentunya membawa dampak positif terutama dari segi ekonomi, namun ada juga dampak negatif yang ditimbulkan dari banyaknya pengunjung ke Pulau Merah. Jumlah sampah yang dihasilkan semakin meningkat. Gambaran umum timbulan sampah di Kabupaten Banyuwangi terdapat pada Penjelasan Nomor 9 Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013. Terkait pembuangan sampah rumah tangga dan  sejenis sampah rumah tangga, timbulan sampah di Kabupaten Banyuwangi sebanyak 218 m3 per hari. Volume sampah di Kabupaten Banyuwangi sebanyak 1.089.254.600 ton per tahun, meningkat rata-rata  per tahun sebesar 11,53%. Sementara  jumlah  sampah  yang  terdapat  di Pulau  Merah  berasal  dari  sampah  yang  dihasilkan  oleh  pengunjung  dan  sampah kiriman dari laut. Dengan demikian jumlah sampah yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh  jumlah  kunjungan  wisatawan  dan  dipengaruhi  oleh  musim  atau  cuaca  yang dapat mempengaruhi jumlah sampah kiriman dari laut (Muyasaroh, 2023). Kegiatan pariwisata juga dapat menimbulkan permasalahan bagi lingkungan apabila  memanfaatkan potensi lingkungan yang melebihi daya dukungnya. Pengembangan destinasi wisata yang tidak berkelanjutan dapat menimbulkan bahaya lingkungan bagi wilayah sekitarnya, seperti erosi, polusi, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan hilangnya habitat alami (Ashuri & Kustiasih, 2020). Tantangan yang cukup besar adalah persoalan pengelolaan limbah padat dan  air limbah, yang keduanya dapat berdampak pada kerusakan lingkungan, berkurangnya kenyamanan dan kesehatan, serta berkurangnya estetika (Mustika, 2022). Jumlah akomodasi dan restoran di destinasi wisata meningkat pesat. Meningkatnya timbulan sampah dapat menyebabkan peningkatan vektor pembawa penyakit. Selain vektor penyakit, pembakaran sampah akibat timbulan sampah juga dapat menimbulkan risiko (Sealey & Smith, 2014). Dimana, hal tersebut dapat juga terjadi pada daerah Probolinggo (Zainuri et al, 2017)
Kabupaten Probolinggo, terletak di Provinsi Jawa Timur dengan koordinat geografis antara 112’50’ – 113’30’ Bujur Timur (BT) dan 7’40’ – 8’10’ Lintang Selatan (LS), memiliki luas wilayah sekitar 169.616,65 Ha atau + 1.696,17 km2 (1,07 % dari luas daratan dan laut Provinsi Jawa Timur). Populasi penduduk mencapai 1.138.000 jiwa tersebar di 24 kecamatan, 5 kelurahan, dan 325 desa. Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Probolinggo mencatat bahwa sampah yang dihasilkan per hari mencapai ratusan ton, dapat menjadi sumber masalah pencemaran lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Setiap individu diperkirakan menghasilkan minimal sekitar 0,5 kg sampah per hari. Sampah dari 24 kecamatan dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Seboro Kecamatan Krejengan, yang berpotensi memperbesar anggaran bahan bakar minyak (BBM). Oleh karena itu, saran untuk memiliki 2 TPA, satu di barat dan satu lagi di timur, perlu dipertimbangkan.
Pada bulan Agustus 2021, data mencatat adanya 196,87 ha kawasan kumuh tersebar di 33 desa di 13 kecamatan Kabupaten Probolinggo. Kondisi ini mencerminkan kurang optimalnya pengelolaan sampah di wilayah tersebut. Sinergi antara Pemerintah Kabupaten Probolinggo dan masyarakat diperlukan untuk memperbaiki pengelolaan sampah yang tidak teratur. Mekanisme pengelolaan sampah di Kabupaten Probolinggo mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah, bertujuan meningkatkan akses pelayanan persampahan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan tempat tinggal. Kesadaran masyarakat terhadap prinsip Reduce, Reuse, dan Recycle (3R) masih rendah, sehingga mayoritas memandang sampah sebagai benda yang harus dibuang, dipindahkan, dan dimusnahkan.
Menurut laporan SIPSN, pada tahun 2021, total produksi sampah di seluruh Indonesia mencapai 28,6 juta ton. Sementara itu, pada tahun 2022, angka tersebut meningkat menjadi 34,5 juta ton (SIPSN, 2023). Peningkatan ini merupakan jumlah yang signifikan dan diperkirakan akan terus bertambah setiap tahun seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia. Jika tidak ditemukan solusi yang tepat untuk masalah sampah ini, masalah ini akan terus menjadi perhatian nasional.Berdasarkan data SIPSN, total produksi sampah pada tahun 2021 mencapai 35,2 ribu ton, sedangkan pada tahun 2022 meningkat menjadi 35,5 ribu ton. Angka ini menunjukkan bahwa permasalahan sampah tidak hanya menjadi isu nasional, tetapi juga mencapai tingkat kota kecil seperti Kabupaten Probolinggo, bahkan sampai ke tingkat desa.
Desa Tamansari, yang terletak di Kecamatan Dringu Kabupaten Probolinggo, merupakan salah satu contoh desa yang terkenal dengan potensi pertanian, terutama pada komoditas unggulan seperti bawang merah dan tembakau. Desa ini juga dikenal karena keberadaannya di dekat pesisir Laut Jawa Utara, yang memberikan akses kepada mereka terhadap sumber daya hasil laut yang melimpah. Desa Tamansari memiliki luas wilayah 393.394 ha dan dihuni oleh 7.282 jiwa (Probolinggo, 2023).
Gambar 6. Pembinaan Bank Sampah di Probolinggo
Salah satu solusi inovatif dalam pengelolaan sampah yang dapat diusulkan adalah melalui pendirian bank sampah. Bank sampah ini dapat dianggap sebagai suatu tempat di mana sistem 4R (Reduce, Reuse, Recycle, dan Recovery) diterapkan secara praktis di tengah masyarakat. Konsep ini bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah dengan mengumpulkan berbagai jenis sampah, kemudian melakukan pemilahan dan pemisahan berdasarkan bobot, jenis sampah, harga jual, dan faktor lainnya. Sampah yang telah dipilah dan dipisah akan dikumpulkan dalam suatu periode waktu tertentu, dan selanjutnya akan menjalani proses penjualan atau penggunaan kembali melalui daur ulang, sehingga dapat memperoleh nilai ekonomis atau manfaat kembali.
Bank sampah muncul sebagai salah satu inovasi solusi yang melibatkan rekayasa sosial untuk mengajak masyarakat agar lebih aktif dalam pemilahan sampah, menerapkan konsep manajemen yang mirip dengan perbankan, namun dengan bentuk tabungan berupa sampah. Dalam konteks ini, penduduk desa mendapat pelatihan tentang praktik pengelolaan sampah rumah tangga dengan cara memilahnya berdasarkan jenis. Hal ini bertujuan agar mereka tidak lagi mengabaikan atau membakar sampah yang dihasilkan di rumah masing-masing.
Kegiatan ini dilakukan untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya kesadaran dan keterampilan dalam mengelola sampah dengan menerapkan prinsip-prinsip reduce, reuse, recycle, dan replant (4R) (Asteria & Heruman, 2016). Pendidikan ini memiliki kepentingan utama dalam menangani permasalahan sampah melalui manajemen sampah yang dimulai sejak sumbernya.
Secara dasarnya, bank sampah memiliki kesamaan dengan bank penyimpanan uang pada umumnya. Perbedaannya terletak pada fakta bahwa nasabah bank sampah tidak menyimpan tabungan dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk sampah yang mereka kumpulkan dari kegiatan sehari-hari, termasuk sampah rumah tangga dan sampah dari aktivitas lain yang sudah tidak terpakai.
Pendirian bank sampah memegang peran krusial dalam memberdayakan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesadaran mereka terhadap sampah serta mendorong pemanfaatan kembali sampah untuk proses daur ulang yang bernilai. Oleh karena itu, keberadaan bank sampah sangat penting karena dapat efektif meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap sampah. Dengan cara ini, diharapkan masyarakat dapat aktif memanfaatkan sampah mereka dan memiliki kemampuan untuk melakukan pemilahan sampah secara mandiri. Bank Sampah juga berperan dalam memberikan pemahaman tentang pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat.
KESIMPULAN
Penanganan permasalahan sampah di daerah pesisir Indonesia memerlukan pendekatan yang holistik dan implementasi solusi yang sesuai dengan peraturan pemerintah. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil berdasarkan peraturan pemerintah Indonesia:
 Implementasi Peraturan Terkait Sampah:
Pastikan pemahaman dan implementasi penuh terhadap peraturan terkait pengelolaan sampah, seperti UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Tindakan penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan pengelolaan sampah.
 Pengelolaan Sampah Terpadu:
  - Kembangkan sistem pengelolaan sampah terpadu yang melibatkan seluruh rantai pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, daur ulang, dan pembuangan akhir.
  - Berikan pelatihan kepada masyarakat pesisir mengenai cara yang benar dalam memilah sampah.
 Promosi Penggunaan Produk Ramah Lingkungan:
  - Dukung kampanye penggunaan tas belanja reusable dan produk ramah lingkungan lainnya.
  - Mendorong industri lokal untuk mengurangi penggunaan kemasan sekali pakai.
   4.  Kolaborasi dengan Pihak Swasta dan LSM:
  - Libatkan sektor swasta dan LSM dalam program-program pengelolaan sampah.
  - Bangun kemitraan untuk mendukung proyek-proyek daur ulang dan pembersihan pantai.
   5.   Infrastruktur dan Fasilitas Pengelolaan Sampah:
  - Tingkatkan infrastruktur pengelolaan sampah di daerah pesisir, termasuk tempat pembuangan akhir yang sesuai.
  - Bangun fasilitas daur ulang untuk mengurangi jumlah sampah yang masuk ke laut.
   6.   Sosialisasi dan Pendidikan Masyarakat:
  - Lakukan kampanye sosialisasi secara terus-menerus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan dampak sampah terhadap lingkungan.
  - Integrasikan pendidikan lingkungan dalam kurikulum sekolah.
   7.   Pengembangan Ekonomi Berbasis Lingkungan:
  - Dukung pengembangan usaha ekonomi berbasis lingkungan, seperti bank sampah, yang dapat menciptakan lapangan kerja dan memberikan insentif ekonomi kepada masyarakat.
   8.   Monitoring dan Evaluasi:
  - Lakukan pemantauan terus-menerus terhadap implementasi program pengelolaan sampah.
  - Lakukan evaluasi berkala untuk menilai efektivitas program dan menyesuaikan strategi sesuai kebutuhan.
Penting untuk bekerja sama dengan semua pihak terkait, termasuk pemerintah daerah, masyarakat, sektor swasta, dan LSM untuk mencapai hasil yang optimal dalam menangani permasalahan sampah di daerah pesisir Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Indonesia, Pemerintah Pusat. 2007. Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta : Pemerintah Indonesia
[2] Indonesia, Pemerintah Pusat. 2014. PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. Jakarta : Pemerintah Indonesia                                                         Â
[3] Indonesia, Pemerintah. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta : Pemerintah Indonesia
[4] Indonesia, KADIN. (2022). OMNIBUS LAW. Diakses pada 11 Desember 2023, dari https://kadin.id/en/program/cipta-kerja/
[5] Kadir, Yusuf Andi, W., Alvira, A., Rinaldo, S., Yesi. (2020, 15 November). Indonesia: Omnibus Law on Job Creation (Undang-Undang Cipta Kerja) Approved by Parliament-Employment Cluster. Diakses pada 11 Desember 2023, dari https://www.globalcompliancenews.com/2020/11/15/indonesia-omnibus-law-on-job-creation-undang-undang-cipta-kerja-approved-by-parliament-employment-cluster09102020/
[6] Indonesia, Pemerintah. 2014. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta : Pemerintah Indonesia
[7] Indonesia, Pemerintah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta : Pemerintah Indonesia
[8] NOAA. (2022). What is Marine Debris?. Diakses pada 11 Desember 2023, dari https://marinedebris.noaa.gov/discover-marine-debris/what-marine-debris
[9] Defitri, Mita. (2022, 9 Agustus). Marine Debris, Mengancam Dunia juga Kesehatan Lautan. Diakses pada 11 Desember 2023, dari https://waste4change.com/blog/marine-debris-mengancam-dunia-juga-kesehatan-lautan/
[10] RIDHA, D. M., H, NANI, KOROPITAN, ALAN F., LESTARI, S. P. (2019, 20 Maret). MARINE DEBRIS AND ITS IMPACT ON CLIMATE CHANGE. Diakses pada 11 Desember 2023, dari http://pojokiklim.menlhk.go.id/read/marine-debris-and-its-impact-on-climate-change
[11] Arif, F., Selintung, M., & Wikantari, R. (2014). Penanganan sampah permukiman di kawasan pesisir kota makassar. Tesis Teknik Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
[12] Â Jayantri, A. S., & Ridlo, M. A. (2022). Strategi Pengelolaan Sampah Di Kawasan Pantai. Jurnal Kajian Ruang, 1(2), 147-159.
[13] Â Subekti, S., Sutrisno, S., Supriyanto, E., Sunartomo, A. F., Kusumayanti, D. D., Wihardjo, E., ... & Ramadhan, M. E. (2023). KESADARAN MASYARAKAT PESISIR DALAM MENGELOLA SAMPAH. AGRIBIOS, 21(1), 148-156.
[14] Â Sheavly, S. B., & Register, K. M. (2007). Marine debris & plastics: environmental concerns, sources, impacts and solutions. Journal of Polymers and the Environment, 15, 301-305.
[15] Iñiguez, M. E., Conesa, J. A., & Fullana, A. (2016). Marine debris occurrence and treatment: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 64, 394-402.
[16] Krisdhianto, A., Muyasaroh, S., & Defriatno, M. (2023). Analisis Timbulan, Komposisi, Dan Potensi Pengolahan Sampah Kawasan Wisata Pantai Pulau Merah Banyuwangi. Jurnal Biosense, 6(01), 60-72.
[17] Purwandari, A. R., & Sari, D. N. R. (2022). System of Leukocytes Respiratory Burst Activity (RBA) in Grouper (Epinephelus coioides). Jurnal Biota, 8(1), 25-32.
[18] Nasita, N. R. I. (2016). Pola kemitraan dalam pengelolaan objek wisata Pulau Merah antara Perhutani, Pemda Kabupaten Banyuwangi dengan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Malang).
[19] Susiana, S. (2018). Peran pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kesehatan reproduksi (Studi di provinsi jawa tengah dan provinsi kalimantan barat). Jurnal Aspirasi, 7(1), 1-16.
[20] Muyasaroh, S., Muzaqi, A., Defriatno, M. E., & Krisdhianto, A. (2023). Analisis Sosial Kelompok Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Pulau Merah dalam Implementasi SOP Pengelolaan Sampah Plastik di Destinasi Wisata Bahari. Jurnal Engineering, 5(1), 1-10.
[21] Ashuri, A., & Kustiasih, T. (2020). Timbulan dan komposisi sampah wisata pantai Indonesia, studi kasus: pantai Pangandaran. Jurnal Permukiman, 15(1), 1.
[22] Mustika, A. (2022). ANALISIS KANDUNGAN KALIUM PADA AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI GLUNDENGAN KECAMATAN WULUHAN KABUPATEN JEMBER. JURNAL BIOSENSE, 5(2), 39-46.
[23] Sealey, K. S., & Smith, J. (2014). Recycling for small island tourism developments: Food waste composting at Sandals Emerald Bay, Exuma, Bahamas. Resources, Conservation and Recycling, 92, 25-37.
[24] Zahra, F., A., Wulandari, F., Hasanah, M., & Hasanah, N., (2021). EFEKTIVITAS PERATURAN DAERAH NOMOR 03 TAHUN 2021 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO TERKAIT KESADARAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN SAMPAH. Jurnal Ilmu Teknologi, Kesehatan, dan Humaniora, 2(3).
[25] Andayani, S., Zahra, F., Musafika, W., & Qibtiyah, M., (2023). PENGADAAN BANK SAMPAH SEBAGAI STRATEGI PENGELOLAAN SAMPAH DI DESA TAMANSARI KABUPATEN PROBOLINGGO. Community Development Journal, 4(4).
[26] Zainuri, A. M., Takwanto, A., & Syarifuddin, A. (2017). Konservasi ekologi hutan mangrove di kecamatan mayangan Kota Probolinggo. Jurnal Dedikasi, 14, 01-07.