Bocah kecil yang lugu dan selalu tersenyum tersebut kini menjadi seorang santri tampan. Padahal 9 tahun lalu, saat tragedi tsunami ia terbawa air bah sampai 3 kilometer. Kisahnya pun sangat unik dan menakjubkan. Jamalon yang saat itu baru berusia 11 tahun selamat oleh seekor anjing. Baginya, saat itu anjing adalah sosok pahlawan. “Banyak orang pikir ini lelucon, dan tidak ada yang percaya, tapi Allah mengirimkan saya anjing. Melalui anjing ini saya selamat dalam musibah tsunami” ujarnya mengenang.
Pria berkepala bulat telur dan berkulit putih ini mengisahkan anjing tersebut berwarna hitam putih. Seperti melambangkan siang dan malam. Laksana kegelapan dan cahaya terang benderang. Dalam kepanikan dan timbul tenggelam dalam air yang menggulung antara hidup dan mati dia nekat memeluk anjing lalu memegang erat ekornya. Abrakadabra, bocah yang tidak bisa berenang itu selamat! Iapun terhempas dan kandas ke daratan. Teman-temannya banyak hilang ditelan gelombang, terseok dan meninggal tertimpa reruntuhan dan kayu yang menggunung. Anehnya lagi, sang anjing, yang disebutnya pahlawanpun hilang tak berbekas.
“Saya mencarinya dan hendak mengucapkan terima kasih, tapi dia sudah tak ada” ceritanya. Memang terjadi perdebatan tajam di relung batinnya. Misteri anjing itu sampai sekarang masih menjadi pertanyaan yang belum tersingkap. Mungkin itu Malaikat, pikirnya. Tapi bila Malaikat apakah mungkin merubah bentuk menjadi anjing? Begitu Jamalon melanjutkan. “Saya ingin tahu siapa pemiliki pahlawan saya itu, tapi saya tidak mengenalnya” lanjut penyuka musik ini. Kejadian itu berlangsung sebentar saja, tapi kesannya akan terbawa seumur hidup.
“Alasan Allah memanjangkan umur karena masih memberikan saya kesempatan untuk menebus dosa” sebutnya di suatu sore saat kami saling mengingat ie beuna mematikan itu. Bersama anak seusianya, Minggu pagi, 26 Desember 2004 itu ia tengah asik bermain kelereng. Goncangan dahsyat 9,1 SR pagi memecah keceriaan dan membuat Jamalon bersama anak nelayan lain panik bukan kepalang . Mereka berlari pulang ke rumah dan bertemu sanak keluarga. Tiada firasat apapun. Ya, layaknya anak-anak normal lain. Si mancung ini masih menghitung-hitung kelereng yang dibawanya.
Tapi saat teriakan, “ie laot ka di ek..ie laot ka di ek…”. Mereka berlari sekencang-kencangnya. Tangannya terlepas dari pangkuan keluarga. Jamalon terasing dan dilumat air gelombang. Hantamam pohon kelapa tepat mengenai kepalanya. Kepalanya berdarah, begitupun hidung dan telinganya ikut berdarah sampai bertemu anjing pahlawannya. Kelingking kaki kanannyapun hampir putus digigit tikus beberapa saat usai bangkit dari tumpukan kayu. Terlanjang bulat. Rasa haus, lapar sempat dirasakan bocah yang saat itu masih kelas V SD di Aceh Besar itu. Untung, air racun berwarna pekat yang tertelan saat tergulung gelombang berhasil dia muntahkan saat meneguk air toilet di sebuah masjid yang para korban lain ‘berebutan’ tempat dengan mayat-mayat.
.........bersambung.
Sepenggal cerita ini bukan untuk membuka luka. Bukan pula mengagungkan anjing. Paling tidak, potret Jamalon dapat mengisahkan dahsyatnya tragedi tsunami itu. Setiap orang memiliki kisah sendiri. Ini seperti unfinished story. Saya yakin ada ribuan, mungkin ratusan ribu cerita lain tentang tsunami Aceh yang belum sempat ditulis. Saya Insja Allah akan menuliskannya beberapa kisah-kisah demikian.
26 Des 2004 - 26 Des 2013
Allahumma Firlahum Warhamhum.