Nah, celah itulah yang menyebabkan pikiran manusia rentan pada bentuk argumentasi yang asal-asalan. Ketika sesuatu terjadi di luar keinginan atau harapan, pikiran merespon dengan; "Ah, hal itu tidak mungkin terjadi!" Kegagalan pikiran membangun skenario di luar ekspektasi ini yang menjebak manusia pada suatu jenis sesat pikir yang cukup populer bernama Beban Tuntutan Pembuktian (Burden of Proof).
Untuk membangun sebuah keyakinan baru di atas keyakinan yang lama akibat munculnya kasus baru, pikiran menuntut bukti. Masalahnya, meski bukti telah dihadirkan, pikiran belum tentu bisa menerima begitu saja. Sebab pikiran mesti terlebih dahulu menundukkan ketetapan hati dan hal itu bukan perkara mudah. Di ruang publik, terutama media sosial, model argumentasi yang dilandasi sesat pikir ini cukup populer.
Untuk menekankan konteks, saya contohkan bagaimana model argumentasi ini sering bertubrukan dengan kognisi sosial tentang konsep "reputasi." Taruhlah seorang pejabat yang dikenal punya prestasi di bidang anti korupsi, dibuktikan lewat penghargaan yang dia terima. Pemberian penghargaan itu tentu melewati proses rumit dengan mekanisme ketat yang menjamin kredibilitas pemberinya. Keputusan itu didukung oleh rekam jejak prestasi yang mengundang kekaguman.
Tiba-tiba pejabat tersebut ditangkap karena masalah korupsi. Pemberitaan sangat ramai dengan liputan khusus dan saling balas komentar antara mereka yang pro dan kontra di media sosial. Secara umum, kita menangkap dua bentuk pernyataan diskursif antara dua kubu. Berikut kita urai dalam bentuk sederhana. Perlu dicatat bahwa penyederhanaan ini bertujuan ilustratif dan tidak untuk generalisasi apalagi membangun stereotip: