Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Kecerdasan Bukan Jaminan untuk Tidak Melakukan Tindakan Ceroboh nan Konyol, Berikut Ulasannya

13 Mei 2020   22:19 Diperbarui: 13 Mei 2020   22:51 303 1
Kecerdasan tidak menjamin seseorang terhindar dari kesalahan. Bahkan, terkadang mereka dengan gelar akademik dan pengalaman riset dengan jam terbang tinggi dapat terjerumus melakukan hal-hal yang sangat konyol. Terkadang pula mereka kurang cermat dalam memilih keputusan hidup sehingga kehidupan pribadi maupun sosialnya tidak secemerlang pencapaian akademisnya.

Tulisan ini tidak menimbang kasus tadi melalui perspektif moralitas. Dari beberapa diskusi yang pernah saya tuangkan ke dalam artikel, perspektif itu mestinya tampak jelas. Kondisi religiositas saja tidak menjamin spiritualitas seseorang terlebih lagi kemampuan kognitifnya. Sehingga diskusi kali ini kita memilih menimbangnya dari perspektif psikologis alih-alih menyeret soalan moralitas.

Beberapa nama besar, yang kecerdasannya diakui oleh sejarah, dapat kita sebutkan di sini tanpa harus menghakimi mereka. Sebut saja Jean-Jacques Rousseau tokoh humanis yang terkenal dengan teori kontrak sosialnya dikenal menelantarkan anak-anaknya sendiri. Sikap yang dikemudian hari dijadikan bulan-bulanan oleh Voltaire (cek Stanford Encyclopedia of Philosophy).

Begitu pun dengan Simone de Beauvoir, teoretikus sekaligus pejuang hak-hak perempuan lewat pandangan feminismenya juga disebut membungkam suara perempuan yang jadi tumbal gaya hidupnya bersama Jean Paul Sartre. Namun seperti yang disampaikan di awal, mereka dihadirkan sebagai pembelajaran dan bukan sebagai target olok-olokan. Pola ini tidak hanya ditemui dalam skala individual namun juga pada skala institusional.

Seperti kebijakan pembelian paket pembelajaran daring secara mandiri oleh masing-masing penerima sasaran program alih-alih membeli lisensi atau hak cipta dari paket pembelajaran tersebut agar bisa digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan tentunya lebih mengehemat anggaran. Kekonyolan-kekonyolan seperti ini sering kita temui. Namun yang menarik perhatian kita adalah mengapa justru dilakukan oleh orang-orang cerdas itu?

Temuan Kajian Psikologi Perilaku: Rendahnya Korelasi Antara Kecerdasan Terhadap Kecakapan Hidup
Sejauh ini, kajian di bidang psikologi perilaku masih mempertahankan hipotesis tersebut. Kecerdasan memang berguna di banyak sisi kehidupan bahkan menjadi patokan dasar kemampuan kita bertahan hidup. Namun, di sisi lain, tidak menentukan kecakapan kita ketika mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup. Terutama kemampuan menimbang langkah strategis beserta semua risikonya.

Temuan ini secara komprehensif dibahas oleh David Robson dalam bukunya berjudul The Intelligence Trap. Menurutnya, kecerdasan dan keahlian pada bidang keilmuan tertentu justru membuat orang rentan berbuat salah. Kondisi ini bisa berakibat fatal jika orang tersebut, dengan posisi dan reputasinya di mata publik, menggiring opini masyarakat terhadap isu-isu sensitif seperti yang bersifat politis.

Menjamurnya teori konspirasi di saat korban terus berjatuhan akibat pandemi Covid-19, kecemasan terhadap perubahan iklim drastis melalui isu pemanasan global yang dinilai berlebihan, hingga menafikan kekhawatiran publik dengan melonggarkan penerbangan internasional saat kuncitara lokal serta larangan mudik justru semakin diperketat merupakan contoh kasus di mana figur dengan label akademik atau kecerdasannya mampu membuat kepanikan massal.

Untuk memudahkan pemahaman terhadap bagaimana kondisi bisa terjadi, ada baiknya kita membahas istilah-istilah teknis yang digunakan oleh Robson. Pertama, istilah yang ia sebut dengan Dysrationalia yang merujuk pada temuan yang dipopulerkan oleh Daniel Kahneman dan koleganya, Amos Tversky, yang menyebutkan bahwa pikiran manusia memang rentan terhadap bias-bias kognitif.

Di antara bias yang disebabkan oleh Dysrationalia ini adalah framing di mana interpretasi data statistik dikacaukan oleh bentuk kalimat penyajiannya. Seperti kasus frasa Susu Kental Manis yang ternyata kandungan susunya tidak lebih dari 20 persen. Bahan utamanya didominasi gula dan air. Frasa Susu Kental membuat konsumen menafikan kata Manis (mengaburkan kata Gula) sehingga tentu menyesatkan interpretasi diet konsumen terhadap produk tersebut.

Terlebih, sesat pikir itu didukung oleh bias visual yang ditampilkan oleh kemasan SKM. Visualisasinya didominasi gambar anak dengan tumbuh kembang sehat bersama segelas susu seakan memberi pesan bahwa mengonsumsi produk SKM itu akan membuat anak tumbuh sehat. Padahal, produk SKM tidak disarankan untuk anak di bawah lima tahun.

Uniknya, sesat pikir seperti itu justru didemonstrasikan oleh mereka yang punya latar belakang akademik mumpuni. Simpulan ini ditegaskan oleh studi yang dilakukan oleh Wndi Bruine de Bruin dari Universitas Leeds, Inggris. Menurutnya, kecenderungan itu disebabkan oleh ketergantungan terhadap pola pikir intuitif ketimbang berpikir kritis.

Orang cerdas terbiasa dengan pola pikir abstrak yang sifatnya intuitif. Akibatnya, kendali terhadap pola pikir rasional menjadi rendah dan membiarkan perasaan mereka menguasai proses pengambilan keputusan. Analoginya, orang cerdas itu mudah terperdaya oleh sekumpulan label serta informasi yang disematkan pada sebuah produk daripada menimbang komposisi dari bahan bakunya.

Demikian pula terhadap individu lain. Mereka cenderung melihat titel dan reputasi orang lain daripada memperhatikan proses serta dampak dari kebijakan yang mereka ambil. Ada kecenderungan menyamakan kondisi diri dengan kondisi orang lain dengan menganggap bahwa jikalau dirinya berada di posisi tersebut pasti akan melakukan hal yang sama sehingga intuisi itu menjustifikasi pandangannya.

Nah, kecenderungan itu ternyata berimbas pada bias lainnya. Keith Stanovich dari Universitas Toronto, seorang pakar kajian kognitif, menyimpulkan bahwa orang cerdas terlampau percaya diri dengan meyakini bahwa mereka tidak mungkin akan terjemurus pada bias seperti yang disebutkan tadi. Kondisi yang diistilahkan dengan Blind Spot Bias ini membuat orang cerdas berpikir bahwa mereka tidak mungkin salah dan menganggap keputusannya adalah yang paling benar.

Paradoks Imunitas Diri
Kepercayaan diri yang melampaui batas hingga menganggap diri tidak mungkin salah membuat seseorang menutup mata terhadap fatalnya akibat yang ditimbulkannya. Anehnya, hal itu sebenarnya ia sadari sepenuhnya. Namun ego dan bias pandangannya membuat ia melihat akibat buruk tersebut sebagai akibat yang baik. Bahkan, ketika sudah terlanjur dan berlarut, ia malah berargumen bahwa kerusakan yang ia timbulkan untuk mendatangkan maslahat yang lebih besar (necessary evil).

Kecenderungan menimpakan kesalahan pada diri orang lain ketimbang mengakui keterbatasan diri bisa ditelusur jauh ke belakang pada kisah-kisah nubuat yang mengajarkan kita bahwa reputasi bukanlah segalanya. Sebagai contoh Nabi Daud AS, juga diceritakan dalam Al-Quran (Shod: 21-25), bahwa suatu ketika Sang Nabi yang juga Raja itu diminta untuk memutuskan perkara sengketa.

Pria yang mengeluh kepada Nabi Daud AS bertutur bahwa pria yang menjadi lawan sengketanya berupaya merampas seekor kambing miliknya satu-satunya. Padahal, pria itu sudah punya sembilan puluh sembilan ekor kambing. Cukup mudah bagi Nabi Daud AS memutuskan perkaranya dengan meminta pria yang berniat merampas tadi untuk melupakan seekor kambing milik pria satunya karena ia sudah punya lebih dari cukup.

Namun seketika beliau sadar diri, dari peristiwa itu, bahwa apa yang ditunjukkan di hadapannya merupakan teguran langsung dari Tuhan. Beliau sendiri sebelumnya memaksa seorang wanita untuk ia persunting dengan memanfaatkan kekuasaannya. Padahal, wanita itu sudah bersuami. Ternyata, dua pria yang bersengketa tadi adalah dua malaikat yang ditugaskan untuk menyadarkan sang Nabi.

Bias seperti itu sangat sering kita temui. Orang yang menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, termasuk kecerdasannya, untuk menguasai orang lain. Paradoks imunitas diri secara komprehensif pernah dikaji pula oleh Igor Grossmann, pakar kajian psikologi dari Universitas Waterloo Kanada, yang menyimpulkan bahwa orang cerdas cenderung lebih bijak terhadap masalah orang lain.

Ketika diminta untuk menengahi atau memutuskan perkara yang tidak menyangkut dirinya sendiri, mereka cenderung bijak dan lebih mampu menimbang banyak sisi. Namun ketika diminta untuk memutuskan sesuatu atau mengatasi masalah terkait diri pribadinya, mereka cenderung mengelak mengakui kekurangan diri sehingga keputusan yang dihasilkannya menjadi kontradiktif.

Mungkin itu menjelaskan mengapa kaum jomblo justru lebih piawai memberi tips menggaet pasangan tapi dia sendiri tak kunjung punya pasangan. Demikian pula penasehat pernikahan yang justru terjebak kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, atau poligami. Atau mungkin motivator spiritual, Ustadz muda lewat seminar religiusnya, justru dipidanakan atas tuduhan pelecehan seksual terhadap korbannya?

Sampai saat ini, hipotesis-hipotesis tadi lah yang mampu memberi kita penjelasan terhadap kasus-kasus bias seperti yang disebutkan sebelumnya. Tentu banyak sisi yang juga luput dari perhatian atau perlu pendalaman kajian yang lebih serius. Kalau pembaca sekalian jeli mengamati struktur  argumen tulisan ini, bias-bias yang disebutkan juga secara terang-terangan ditampilkan.

Artinya, dengan argumen yang ditunjukkan serta beberapa kasus dan bahan kontemplasi yang disajikan, tulisan ini juga rentan terhadap bias yang coba dijelaskannya. Pembaca yang baik tentu menyadari bahwa selalu ada narasi yang luput dari sebuah monolog. Apalagi jika ditimbang melalui paradoks imunitas diri yang baru saja kita bahas. Semua itu untuk mengantisipasi bias kognitif berikutnya.

Bias Penalaran Berpihak
Mengapa teori konspirasi, betapa pun banyaknya bukti ilmiah atau data lapangan yang menolaknya, tetap saja punya pendukung garis keras yang membela semua argumennya? Mengapa pula sesat pikir dan kekonyolan, meski secara jelas berimbas buruk pada orang lain, kita toleransi atas dasar simpati pada pelakunya? Menurut Dan Kahan dari Universitas Yale, itu karena kita memihak pada satu sisi terlebih dahulu sebelum melakukan penalaran.

Keberpihakan bisa mempengaruhi pandangan seseorang bahkan ketika pandangan itu bertolak-belakang dengan akal sehatnya sendiri. Taruhlah ketika seseorang melakukan perundungan kepada orang lain yang berasal dari golongan tertentu kita tahu bahwa apa yang dilakukannya itu salah dan mesti dihentikan. Namun perundungan itu membuat golongan kita menguat eksistensinya sehingga kita menjustifikasi perlakuan itu dengan berbagai argumen yang sebenarnya mengada-ada.

Secara psikologis, manusia butuh indentitasnya diakui. Merasa bagian dari golongan atau komunitas tertentu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang mesti dipenuhi. Sehingga menyatakan opini yang tidak populer atau berseberangan dengan apa yang diyakini golongan/komunitas sendiri merupakan ancaman terhadap eksistensi diri. Pada dasarnya, kita sebagai manusia takut dikucilkan.

Bias ini tidak terbatas pada pilihan individual atau partisipasi dalam proses sosial seperti yang melibatkan isu politis atau isu global. Hal ini juga sangat umum di kalangan masyarakat akademik. Pakar di bidang ilmu atau kajian tertentu terkadang menganggap pakar di bidang ilmu atau kajian lainnya belum mapan baik tradisi maupun metodenya. Bias intelektual ini masih umum kita temui.

Bahkan terkadang menganggap disiplin ilmu atau kajiannya berlaku secara umum. Sehingga metode atau teknik argumentasinya dapat diaplikasikan ke basis logika atau penalaran bidang ilmu/ kajian lainnya. Metode argumentasinya memaksakan adanya hirarki terhadap bangunan disiplin ilmu kepada para penyimak ketimbang menguraikan penalarannya dengan rinci agar lebih mudah dipahami.

Sentimen ini dapat disaksikan secara jelas dan terbuka terhadap kajian-kajian yang melibatkan objek metafisis atau supernatural. Ketidakmapanan tradisi atau tidak memadainya instrumen riset terhadap objek-objek metafisis maupun supernatural sering mengundang cibiran dari golongan pakar bidang ilmu lainnya. Padahal, fenomena yang dibahasnya jelas berdampak pada perilaku individu hingga sosial budaya suatu masyarakat.

Warisan Dogmatisme
Bias penalaran yang membuat orang-orang cerdas menunjukkan perilaku-perilaku konyol seperti yang disunggung pada bahasan sebelumnya juga berasal dari warisan dogmatis disiplin ilmu atau kajian yang ditekuninya. Warisan ini pula lah yang bertanggungjawab melahirkan kecongkakan pada diri sang cendekiawan. Sehingga mereka punya tendensi untuk melebih-lebihkan kepakaran dan keahlian yang dimilikinya.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Nate Kornell dari Williams College, Massachusetts mengonfirmasi simpulan ini. Dalam studi tersebut, beberapa kelompok yang terdiri dari pakar matematika, pakar sejarah, dan atlet berprestasi diminta untuk mengenali figur-figur terkenal dari bidang-bidang tersebut. Hasilnya, mereka hanya mengenali figur yang berasal dari disiplin mereka sendiri.

Lebih lanjut, Matthew Fisher dari Universitas Yale melebarkan studi tersebut ke beberapa lulusan sarjana dari berbagai bidang ilmu dengan menguji mereka terlebih dahulu dalam penguasaan materi-materi dasar disiplin ilmu masing-masing. Setelah itu, mereka diminta mengomentari topik atau isu yang bukan merupakan bidang kajian ilmu mereka. Hasilnya, seperti yang disebut oleh warga +62, penjelasan yang muncul berdasarkan "cocoklogi".

Fisher menduga bahwa sistem pendidikan tidak membekali sarjana tersebut dengan topik bahasan yang bisa diaplikasikan sesuai bidang keahlian yang dituju sehingga mereka lupa batasan-batasan kajian mereka sendiri dan membuat penjelasan-penjelasan terhadap fenomena sehari-hari berdasarkan ingatan semu. Cocoklogi dan kepercayaan diri yang terlalu tinggi ini lah yang sering menyulut tindakan-tindakan konyol.

Parahnya, kebanggaan terhadap disiplin ilmu tertentu membuat mereka menutup diri dari penjelasan-penjelasan  dari disiplin ilmu lain yang mungkin lebih memadai. Akibatnya bisa ditebak: debat kusir yang menyulut perundungan dan keributan tidak perlu namun tidak menyelesaikan apa-apa. Padahal sangat mustahil memahami fenomena yang muncul pada saat ini tanpa pendekatan interdisipliner.

Hal ini bisa merusak progres perkembangan suatu bangsa jika orang-orang seperti itu menduduki kekuasaan dan merumuskan kebijakan. Ada semacam kepercayaan diri yang membuat mereka terlalu percaya diri dengan menganggap kepakaran dan keahlian mereka bisa menyelesaikan berbagai hal dan menutup diri terhadap informasi baru.

Bayangkan saja jika seorang politisi dengan latar belakang sarjana ekonomi di mana doktrin ekonomi yang ia kuasai sudah usang sedangkan dia sendiri tidak mau membuka diri terhadap informasi baru. Kombinasi warisan dogma apalagi dibumbui oleh Dysrationalia dan Bias Penalaran Berpihak akan menghasilkan tokoh politik atau pejabat publik yang bisanya hanya bikin rusuh dan membuat kepanikan massal.

Jangan heran bila beberapa nama besar yang dikenal luas sebagai orang cerdas dan pakar di bidangnya justru memiliki pandangan jumud dan ketinggalan zaman. Tak pelak, apa yang mereka yakini dipandang sebagai sesuatu yang konyol. Sebut saja pemenang Nobel seperti Kary Mullis yang meragukan isu pemanasan global dan menganggap AIDS itu hoaks atau James Watson yang masih percaya bahwa tingkat intelektual seseorang ditentukan oleh ras dan warna kulitnya.

Mereka berdua adalah ahli yang temuannya punya pengaruh besar terhadap kehidupan kita saat ini. Sayangnya mereka masih memegang nilai-nilai yang sudah usang dimakan zaman. Meski demikian, mereka lah yang membuat teori konspirasi masih memiliki basis penggemar sebab nama besar  dan gelar mereka digunakan untuk menjustifikasi isu-isu tertentu yang pada hakikatnya tidak berdasar.

Tetap Belajar dan Terus Waspada
Reputasi dan gelar bukanlah jaminan bagi seseorang untuk memastikan keputusan yang diambilnya terbebas dari bias. Kecerdasan, meski merupakan kompetensi dasar untuk bertahan hidup, tidak melulu berkorelasi dengan kebaikan seseorang. Manusia, apapun statusnya, tidak akan luput dari bias sebab pikiran dan jangkauan pandangan kita sangatlah terbatas.

Meski demikian, kecerdasan merupakan langkah awal untuk menuntun diri lebih terbuka terhadap beragam informasi dan menimbang sesuatu dari berbagai sisi. Kecerdasan mestinya membebaskan diri kita dari kungkungan doktrin dan tetap waspada untuk tidak membiarkan diri melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya. Sudah saatnya kita menyinkronkan kecerdasan dengan emosi agar salah satunya tidak mendominasi.

Bias-bias tadi sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan diri. Bias imunitas diri, sebagai contoh, kondisi di mana kita lebih bijak memberi nasihat ke orang lain daripada ke diri sendiri diakali melalui "self-distancing". Menurut Igor Grossmann dari Universitas Waterloo di Kanada teknik itu dengan menganggap diri ini adalah orang lain yang membutuhkan masukan dan nasihat dari kita.

Cara ini, menurut Igor, akan meminimalisasi bias yang menganggap diri imun dari segala bentuk kesalahan. Selain itu, sering bertukar pikiran dengan diri sendiri melatih kita untuk memikirkan dengan matang apa yang perlu diucapkan atau dilakukan. Sehingga akan terbayang konsekuensi yang potensial kita hadapi agar kita tidak harus menjilat ludah sendiri karena semberono dalam pengambilan keputusan.

Pendidikan bukanlah hal yang sederhana. Butuh kesungguhan diri untuk tidak sekadar mendalami suatu bidang namun juga membiasakan diri mengonversi penalaran abstrak ke perilaku yang sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan. Memang butuh waktu dan ketelatenan dalam membaca baik teks maupun peristiwa. Namun pendidikan yang melahirkan kecerdasan yang dibarengi dengan pengakuan akan keterbatasan diri akan menuntun kita menemukan harmoni dalam hidup bersama yang lain.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun