Harapan itu disampaikan Direktur Pelaksana WFP Ms. Jossette Sheeran saat menerima kunjungan Menko Kesra Agung Laksono di Markas WFP, Roma, ujar Counsellor Pensosbud KBRI Roma, Musurifun Lajawa kepada koresponden Antara London, Rabu.
WFP merupakan lembaga bantuan kemanusian PBB terbesar di dunia, khususnya dalam hal bantuan pangan dan nutrisi.
******************************
Sepintas apabila kita memperhatikan penggalan berita di atas terlihat seolah - olah Indonesia sudah aman dalam mengatasi permasalahan pangan. Maka Indonesia tinggal memperkuat posisi dalam tataran loby pangan International. Namun cerita indah tentang lobby International ini hanya sesaat saja jika melihat realitas kelaparan yang sering terjadi di negara Agraris ini.
Ketahanan Pangan.
Secara defenisi Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996). Sementara USAID (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai satu kondisi dimana masyarakat pada satu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dietary dalam rangka untuk peningkatan kesehatan dan hidup yang lebih produktif. Apabila kita perhatikan dalam defenisi ketahanan pangan sama sekali tidak terdapat kata atau kalimat yang mengisyaratkan siapa sebenarnya yang harus memenuhi pangan suatu bangsa dan darimana sebenarnya sumber pokok pangan suatu bangsa. Menurut hemat saya inilah sebenarnya yang menjadi momok mengerikan kebijakan impor pangan bangsa Indonesia karena tidak jelas siapa penyedia pangan bangsa memilki 240 jut jiwa ini.
Kedaulatan pangan.
Pradigma Kedaulatan pangan sebenarnya bukan sesuatu yang baru jika kita "aware" dengan nilai - nilai dari mandat konstitusi. Tentu masih kuat dalam ingatan kita tentang Undang - Undang Pokok Agraria no 5/1960, yang mengejewantahkan Kedaulatan pangan. Namun sayang seribu kali sayang, UUPA ini pun termasuk UU yang dikangkangi.
Selain ditinggalkannya UUPA ini, persoalan konversi lahan untuk kepentingan industri (yang jelas - jelas tidak menyangkut kebutuhan dasar bangsa Indonesia) juga semakin marak, harga jual petani yang tidak dijamin oleh pemerintah dan hasil pertanian hanya dijadikan komoditi perdagangan Internasional (bukan memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga /lokal) semakin menambah daftar panjang menuju ketidakberdaulatan pangan kita. Apalagi jika menghitung laus lahan yang dimiliki petani maka semakin "sahih" argumen untuk melakukan impor pangan.
Menurut hemat saya, sudah saatnya Mazhab Agribisnis dan Ketahanan pangan didekonstruksi dengan Mazhab Agroeklogi dan Kedaulatan Pangan. Karena persolan pangan bukan hanya bagaimana memenuhi pangan dalam negeri tanpa memikirkan dari mana asalnya akan tetapi adanya jaminan hak memproduksi pangan sendiri. Dengan adanya jaminan ini maka Lahan - lahan yang menjadi milik segelintir orang harus dibagikan kepada para petani untuk menciptakan pertanian yang berkelanjutan guna mewujudkan kedaulatan pangan dan kedaulatan bangsa.
STOP AGRIBISNIS DAN KETAHANAN PANGAN.