Terpilihnya Marcos Jr yang akrab dipanggil Bongbong menjadi Presiden Filipina ini adalah sebuah anomali sosial. Praktek korupsi yang dikutuk manusia tetapi rakyat Filipina tidak menganggap perbuatan korupsi ayahnya Marcos Junior ini sebuah kejahatan. Esensi sejarah revolusi EDSA dalam penumbangan rezim Marcos begitu mudah hilang di rakyat Filipina.
Nampaknya, peristiwa Ferdianand Bongbong ini tidak tertutup kemungkinan akan terjadi juga di Indonesia. Indonesia dan Filipina  sama-sama pernah memiliki sejarah mendapat rezim diktator dan koruptor kelas kakap. Sejak Soekarno tumbang pada peristiwa berdarah 1965 dan digantikan oleh Soeharto. Â
Selama 32 tahun (1967 - 1998) Soeharto
 berkuasa akhirnya ditumbangkan oleh gerakan reformasi dipelopori oleh mahasiswa. Setelah 3 hari Gedung MPR/DPR diduduki mahasiswa, Soeharto mengumumkan dirinya lengser keprabon.
Dalam era reformasi, sistem politik pun berubah total yaitu, sistem demokrasi memberikan hak kebebasan setiap warga negara Indonesia untuk berpolitik. Setiap WNI memiliki hak memilih dan dipilih dalam dunia politik. Meski WNI itu berasal dari keluarga dan kroni rezim Soeharto tapi hak politiknya tidak dikebiri dan juga memiliki hak untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden RI atau legislatif. Syarat presiden harus orang Indonesia asli juga dihapus dalam amademen UUD 1945.
Pemilu ulang 1999 untuk mengakhiri pemerintahan transisi Presiden BJ.Habibie yang menggantikan Soeharto, keluarga Cendana sempat menghilang dari panggung politik. Namun pada 2002, Â Hardiyanti Rukmana yang populer dipanggil Tutut selaku anak sulung Soeharto lalu membentuk Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan dinyatakan lulus oleh KPU sebagai partai peserta pemilu 2004. Namun partai ini tidak lolos karena hanya memperoleh suara sebesar 2,11% dari syarat Parliamentary threshold sebesar 3%. Sehingga Tutut tidak bisa mencapres.
Pada pemilu 2009, PKPB mengubah namanya menjadi Partai Karya Pembangunan Bangsa dengan perolehan suara 1,4%. Â Namun keluarga Cendana sepertinya tidak pernah menyerah membangkitkan kembali kejayaan Dinasti Soeharto ini. Â
Pada Pemilu 2014 bukan partai PKPB saja yang hadir untuk merebut kekuasaan. Mereka mendirikan 2 partai baru yaitu, Â Partai Nasional Republik (Nasrep) yang dibina oleh Hutomo "Tommy" Mandala Putra Soeharto dan Partai Karya Republik (Pakar) Ari Sigit Soeharto. Namun ketiga partai ini tidak lolos verifikasi administrasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Untuk Pemilu 2019 lahirlah Partai Beringin Karya atau disingkat dengan Partai Berkarya yang merupakan fusi dari 2 partai politik, yaitu Partai Beringin Karya dan Partai Nasional Republik. Namun partai ni juga tereliminasi dengan perolehan suara 2,09 persen dari suara nasional. Alhasil, Partai Berkarya tidak lolos ke Senayan dari syarat Parliamentary threshold sebesar 4 persen.
Melihat perjuangan anak Soeharto yang selalu gagal  membangun kejayaan bapaknya kembali, apakah rakyat Indonesia adalah bangsa yang konsisten melawan koruptor di Republik ini? Bangsa yang cerdas berdemokrasi? Tunggu dulu! Jangan berbangga dulu!
Sisi lain, ada kekuatan lain berkibar di kancah politik Indonesia., yaitu Partai Gerindra. Â Partai yang didirikan oleh sosok menantu Soeharto bernama Prabowo. Partai ini mampu menjadi magnet besar di panggung politik sejak Pemilu 2009 sampai sekarang.
Meski Prabowo sudah pisah dengan Titiek Soeharto dan pernah dicap pengkhianat oleh keluarga Cendana tapi hubungan kedekatan mereka masih tetap terjaga solid. Membangkitkan kembali kejayaan Dinasti Soeharto menjadi agenda Prabowo jika terpilih sebagai  presiden.
Titiek Soeharto  dan Prabowo terlihat kerap tampil bersama di masa kampanye pemilihan presiden 2014 dan 2019.  Titiek gencar membantu Prabowo berkampanye untuk pemenangan Prabowo sebagai calon presiden. Tutut secara halus memberi pesan ke publik memberi dukungan pencapresan Prabowo agar menang. Begitu juga cucu Soeharto, seperti  Eno menjadi pengurus DPP Gerindra. .
Pada pilpres 2019, anak dan cucu mantan Presiden Soeharto masuk secara resmi dalam struktur pimpinan Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Mereka adalah Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, dan Retnosari Widowati Harjojudanto atau Eno Sigit Harjojudanto.
Secara kepartaian, meski Gerindra menampilkan karakter Soekarno sebagai jargonnya untuk memikat hati rakyat tetapi mereka sangat mengagungkan Soeharto dan membangkitkan kembali kejayaan Soeharto sebagai presiden yang bersih dan baik.
Sebagai partai pendatang baru yang didirikan pada 2008, Pemilu 2009 berhasil memperoleh suara sebesar 4,46 persen dan lolos parlementary threshold yang ditetapkan sebesar 3 - 4 persen. Pemilu 2014 naik tajam menjadi 11,81 persen dan Pemilu 2019 melonjak lagi menjadi 12,57 persen.
Dalam Pemilihan Presiden Pilpres 2009, Prabowo sebagai Cawapres berpasangan dengan Megawati kalah melawan pasangan SBY - Boediono. Pada Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo muncul sebagai Capres juga kalah tipis melawan Jokowi.
Saya sebagai aktivis 98 Â yang salah-satu ikut menumbangkan rezim Soeharto, pada Pilpres 2014 sempat getar-getir atas kehadiran sosok Prabowo yang begitu masif. Timnya yang all out dan militan bertarung memenangkan Prabowo.
Saya hampir pesimis jebolnya benteng reformasi. Prabowo bagaimanapun adalah representatif rezim Soeharto. Ini harus dikalahkan dalam Pilpres 2014 demi menyelamatkan reformasi dari upaya mencegah keluarga dan kroni koruptor dan diktator berkuasa kembali membersihkan dirinya.
Sejarah berkata lain, rakyat Indonesia masih banyak setia atas perlawanan pada rezim koruptor dan penjahat kemanusiaan tersebut. Jokowi bukan siapa-siapa dan dilecehkan tidak memiliki tampang sebagai sosok presiden, akhirnya menang pada pilpres 2014. Pada Pemilu 2019, Prabowo mencapres kembali melawan incumbent Jokowi. Alhamdulillah, Prabowo berhasil dikalahkan kembali.
Melihat Pemilu 2024, Prabowo besar kemungkinan kembali mencalon sebagai presiden RI. Potensi kemenangan Prabowo pada Pilpres 2024 hampir di depan mata. Selain strategi Prabowo merapat ke kubu nasionalis, Â ada tiga faktor lagi pendorong potensi kemenangan Prabowo di 2024.
Pertama, Prabowo sudah populer dibandingkan calon kandidat lainnya yang muncul ke permukaan. Kepopuleran Prabowo sebagai  sosok pemimpin yang tegas dan berani seperti Soekarno. Branding Prabowo seperti itu sudah dibangun sejak 2009 sebagai sosok pemimpin impian Indonesia. Rebranding ini sudah melekat di benak masyarakat banyak.
Kedua, sosok Capres bersaing melawan Prabowo tidak memiliki magnet yang tinggi seperti Jokowi. Ganjar digadang-gadangkan  sebagai rival melawan  Prabowo berpotensi tidak diusung PDI Perjuangan. Begitu juga sosok Capres lain seperti Anies, Ridwan Kamil dan lainnya terkendala partai pengusung dan mudah dipatahkan dengan isu-isu ketidakpantasan menjadi pemimpin Indonesia.
Ketiga, dominan pemilih 2024 adalah generasi milenial, generasi Y dan ditambah generasi Z. Pemilih tersebut miskin sejarah dan kurang pemahaman substansi reformasi. Kelompok pemilih tersebut akan terpengaruh propaganda propaganda membangkitkan kembali kejayaan Soeharto. Terbukti, Â tokoh presiden mahasiswa dengan lantangnya bicara di media bahwa Soeharto presiden yang berhasil membangun kesejahteraan dan kebebasan. Ini disebabkan miskinnya sejarah pada generasi milenial dan Gen Y serta Z.
Siapa Prabowo, siapa Tutut, siapa Tommy,  sepertinya pemilih di Pemilu 2024 tidak peduli. Substansi Reformasi sudah mulai meredup.  Atas tindakan korupsi dan kediktatoran semasa rezim Orde Baru selama 32 tahun, itu  bisa direbranding oleh anak dan cucunya serta kroni-kroninya di medsos sebagai sosok presiden yang bisa bikin rakyat hidup enak semasa kepemimpinannya.
Hal tersebut tetbukti berhasil dibangun oleh Bongbong pada pemilihan presiden Filipina 2022. Kemenangan ini disebut tak lepas dari peran TikTok dan generasi muda yang tidak tahu pemerintahan diktator Marcos.
Keluarga Cendana dan Prabowo sudah tahu strategi di era Revolusu 4.0. Logistik mereka pun melimpah. Â Dinasti Soeharto hidup kembali sudah terbuka di depan mata.
Pertanyaan, apakah Indonesia rela di 2024 dipimpin oleh keluarga rezim koruptor? Kaum reformis, Â jangan hanya menunggu keajaiban sebelum Indonesia terjadi juga seperti di Filipina!