Siang itu panas cukup terik di daerah Pinangsia, waktu menunjukan pukul 14.05. hiruk pikuk aktivitas jual beli meramaikan suasana siang itu. Sedikit informasi untuk pembaca, Pinangsia merupakan nama sebuah jalan di daerah kota, Jakarta Pusat. Daerah itu lumayan terkenal di Jakarta karena sebagai pusat penjualan alat-alat rumah tangga bermerek namun dengan harga miring. Sepanjang jalan dipenuhi oleh toko-toko besar yang menjajakan dagangannya masing-masing. Hampir seluruh pemilik toko di sana adalah orang Tionghoa.
Siang itu saya di sana untuk menemani ayah saya, ada beberapa barang yang beliau cari. Ayah saya adalah seorang pedagang mebel, akhir-akhir ini banyak orang memesan kitchen set kepada beliau. Kebanyakan pembeli menginginkan barang mahal pada kitchen set mereka tapi dengan bujet yang miring, maka mencari barang tersebut di Pinangsia merupakan solusinya, lengkap dan murah. Asyik mencari, kami baru menyadari bahwa waktu telah menunjukan pukul 15.03 WIB. Barang yang kami cari pun sudah kami dapatkan, karena waktu ashar sebentar lagi tiba maka kami memutuskan untuk berjalan mencari mushola atau masjid guna melaksanakan sholat.
Setelah meletakan beberapa barang kami di mobil, dalam benak saya, pastilah mencari mushola atau masjid di sana merupakan hal yang sulit karena kebanyakan pedagang dan warga di sana adalah masyarakat keturunan. Bukan bermaksud membedakan golongan, tapi memang fakta yang ada begitu adanya. Namun ayah saya mengatakan ada satu mushola di sini yang saya tidak mungkin identik menemukannya di daerah lain. Kami berjalan ke arah ujung jalan Pinangsia yang menuju pada arah Stasiun Kota. Jalan Pinangsia memiliki 2 ujung, yang pertama menuju arah pusat perbelanjaan Glodok, sementara satunya lagi menuju ke Stasiun Kota. Kami menyusuri jalan yang menuju Stasiun Kota. Ada beberapa jalan kecil di sisi jalan ini, lantas kami berbelok memasuki jalan Asem yang lokasinya cukup jauh dari mobil yang kami parkir di jalan Pinangsia. Setalah masuk kira-kira 50 meter, kami menemukan sebuah bangunan di sisi kiri jalan yang terpampang plang nama di depannya bertuliskan MUSHOLA AL-FURQON. Di sebelah mushola ini terdapat sebuah warung, tapi entah mengapa mushola tersebut tidak terlihat seperti mushola seperti biasanya. Nah, benar saja, begitu kami masuk isinya bukanlah sajadah yang terbentang, atau mimbar yang berdiri tegak di depan, melainkan sebuah ruang tengah dari rumah yang dikosongkan di mana di salah satu sisinya terdapat tumpukan sajadah tergelar di sana. Lantas bagaimana dengan tempat wudhunya? Rupanya untuk tempat kami berwudhu berada di kamar mandi rumah tersebut. Oh, ya, ketika saya awal masuk ke rumah ini ada 3 orang tengah melaksanakan sholat ashar secara berjamaah. Saya sebenarnya agak tercengang, karena perlu teman-teman ketahui, bagi siapa pun yang ingin sholat dipersilahkan masuk ke dalam rumah tersebut secara bebas tanpa perlu pamit terlebih dahulu kepada sang pemilik rumah. Padahal, didalamnya terdapat peralatan rumah tangga lengkap. Kemana pemilik rumah? Lantas bagaimana dengan pernak-pernik barang-barangnya? Apakah dia tidak takut kehilangan? Pertanyaan itu muncul dari dalam benak saya.
Karena waktu terus berjalan maka saya putuskan untuk menjalankan sholat ashar dahulu. Setelah sholat ashar selesai saya dan ayah lakukan, rasa penasaran itu muncul kembali. Usut punya usut, ternyata warung yang terdapat di sebelah mushola AL-FURQON ini dimiliki dan dikelola oleh sang pemilik rumah merangkap mushola itu. Saya sempat bertanya mengenai keberadaan mushola serta nama pemilik rumah yang berfungsi ganda sebagai mushola ini. Menurut paparan pak Iqbal, nama pemilik rumah, beliau mendirikan mushola tersebut atas wasiat dari mertuanya almarhum bapak Pratiknya, yang prihatin karena sangat sulitnya menemukan mushola di daerah tersebut bagi umat Islam yang hendak melaksanakan sholat berjamaah. Bapak Iqbal sendiri merupakan seorang warga keturunan Tionghoayang mualaf, memeluk agama Islam semenjak tahun 1984. Mushola ini berdiri tahun 1986. Dan uniknya semenjak tahun 1986 ketika siapa pun dipersilahkan bebas keluar masuk rumahnya untuk melaksanakan sholat, tidak pernah terjadi kasus kehilangan satu benda pun dari dalam rumahnya.
Keuinikan lainnya, warga Tionghoa yang non muslim di sekitar daerah tempat tinggalnya pun tidak pernah merasa terganggu. Tidak ada rasa diskriminasi sedikit pun, yang ada hanyalah sifat toleransi dan saling menghargai diantara mereka. Sungguh luar biasa, pemandangan yang terasa semakin khawatir terkikis di Jakarta ini seakan menjadi surga oase dan contoh menyuburkan saling bertoleransi bagi masyarakat Jakarta untuk tetap mengedepankan sifat saling menghargai.
Bagi saya yang masih berusia muda, jelas terlihat konkrit dihadapan, bagaimana sebuah perbedaan menjadi hal yang teramat manis saling berpadu menjadi sebuah kesatuan kehidupan bermasyarakat, bukan sebagai tembok pembatas yang menganga jurang perasaan antara satu dengan yang lain. Saya sepenuhnya berkeyakinan, memelihara sifat persaudaraan bineka tunggal ika seperti ini sangat dibutuhkan pemupukannya oleh masyarakat kita. Tanpa banyak bicara, warga seperti pak iqbal ini, bersama-sama warga jalan Asem lainnya yang memiliki sifat toleransi tinggi, telah memberi contoh nyata. Jika banyak orang berperilaku demikian, bisa dipastikan, tawuran antar kampung, penyerangan oral maupun fisik terhadap satu keyakinan dengan keyakinan lain yang berbeda, atau bahkan kasus sara dalam bentuk apa pun, tidaklah mungkin ramai terjadi.seperti yang marak belakangan ini terkuak di media massa, di tanah air kita tercinta. Manisnya perbedaan adalah indahnya kebersamaan.