Di warung kopi kayu tak bernama, terbuka hanya beratap rumbai,di pelosok, destination no where di aplikasi maps, beberapa sepuh dan anak muda tampak asyik berbual-bual. Mereka ditengarai dari jaman dan waktu yang berbeda, yag muda berjins pensil ala milenial dengan warna kaus ala distro, sementara yang rambutnya putih, gayanya kacau balau, berjaket kulit domba garut, bertopi hitam celana hitam, kumis tipis ala Zorro, ada yang berbaju songkok putih ala kiyai kampung jauh dari kiyai langitan yang beken dan sohor. Ada yang bergaya si pitung dan Jiih dengan peci merah dan putih plus sarung yang dilipat rapid an disampirkan di pundak sebagai asesoris jawara yang rendah hati sampai tidak bisa direndahkan lagi, saking rendah hatinya. Tapi setiap melihat gaya jawara kampung itu, intelejen VOC kebat kebit hatinya, luntur keimanannya, pengin kabur dan pulang ke negerinya, menjauh dari NKRI tercinta.Â
KEMBALI KE ARTIKEL