Mengamati tayangan televisi tentang musibah banjir di Jakarta, ada pemandangan yang berbeda. Anak-anak begitu ceria bermain air banjir yang coklat dan kotor. Sementara orang tuanya pastilah sedang sedih dan gelisah menghadapi musibah. Mengkhawatirkan harta dan rumah yang ditinggalkan mengungsi. Namun dengan polosnya, anak-anak bermain air dengan riangnya. Seolah tanpa beban kesedihan dan tetap ceria.
Dari reportase Balqies TV One semalam, anak-anak di Kampung Pulo yang diwawancarai menyatakan kegembiraannya. Mereka sudah berendam air banjir sejak jam 17.00 sore sampai sekitar jam 20.00 ketika diwawancarai. Pertanyaannya, kemana orang tuanya sehingga anak-anak ini bermain dalam area banjir yang berbahaya? Atau malah justru dibiarkan saja melihat kegembiraan yang terpancar, saat melihat anaknya bermain air dengan riangnya.
Minggu siang ini, kembali saya melihat tayangan di Metro TV, anak-anak yang bermain di tengah air banjir Jakarta mengatakan dengan polosnya, sedang bermain “waterboom”. Entah karena sudah pernah bermain di waterboom atau sekedar membayangkannya, karena sebenarnya tak pernah kesana. Sepertinya, ruang banjir itu bak kolam renang terbuka, gratis tanpa biaya.
Melihat tayangan korban Sinabung, beberapa relawan justru bermain dan bernyanyi bersama anak-anak untuk mengurangi trauma. Jangan-jangan keceriaan bermain air banjir, bisa menjadi terapi trauma terhadap bencana banjir bagi anak-anak tersebut? Tentunya tidak, anak-anak mungkin hanya mencari “pelampiasan” dari kesedihan dengan cara bermain. Satu-satunya yang tersedia, hanyalah air coklat yang kadang bergelombang, karena derasnya aliran air dan sebenarnya berbahaya. Maka waterboom, mereka menyebutnya.
Anak-anak ikut menderita karena bencana banjir yang menerpa Jakarta dan kota lainnya di Indonesia. Anak-anak hanya mencari penyaluran agar penderitaan tak terlalu dirasakan, dengan bermain air di tengah banjir Jakarta. Hal initak seharusnya menjadi pemandangan biasa. Jika saja para pemimpin negeri ini menjalankan amanahnya dan memahami penderitaan rakyatnya. (*)