Niat baik ini langsung disambut oleh Wakil Presiden yang juga mantan Ketua umum Partai Golkar, Jusuf Kalla (JK) untuk mengambil peran mediator. JK menyampaikan empat syarat dalam melakukan negosiasi. Pertama, JK minta agar ke dua kubu mengedepankan kepentingan partai dan kader. Kedua, bekerja sama dalam menjaring calon kepada daerah. Ketiga, terkait kriteria calon kepala daerah yang akan didaftarkan ke KPU, kedua kubu akan membahas hal itu secara bersama-sama. Kriteria ini nantinya akan disetujui oleh kedua belah pihak. Keempat, yang akan mengajukan calon adalah DPP yang diakui oleh KPU. Poin ke empat inilah yang masih alot diperdebatkan.
Upaya mecapai kesepakatan di Pilkada ini, juga merupakan hasil pertemuan kedua kubu, baik kubu Munas Ancol yang dikepalai oleh Agung Laksono dan kubu Munas Bali yang dikomandoi oleh (Ical), dengan mantan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie di rumahnya, kawasan Patra Jasa Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu, 27 Mei 2015. Habibie memberikan pesan khusus agar dua kubu yang bertikai di Golkar sepakat untuk rujuk dan harus ikut Pilkada serentak.
Pasca putusan PTUN yang manganulir SK Menkumham atas penetapan kepengurusan kubu Agung Laksono, polemik di Partai Golkar memasuki babak baru. Karena Menkumham dan Kubu Agung Laksono mengajukan banding. Menurutnya, legalitas kepengurusan Munas Ancol adalah sah sesuai dengan putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) dan dikuatkan oleh SK Menkumham. PTUN seharusnya tidak bisa turut campur atas putusan kewenangan MPG.
Karenanya, meski terjadi perundingan terkiat Pilkada dengan kubu Ical, kubu Agung Laksono tetap melanjutkan proses banding. Artinya, upaya kubu Ical untuk memanfaatkan momentum islah untuk meredam rencana banding kubu Agung Laksono sangat tidak rasional baik secara prinsip maupun teknis.
Belum terang, apa yang akan menjadi kesepakatan dua kubu yang bersengketa ini, yang jelas masing-masing pihak menginginkan kesepakatan terbatas di Pilkada. Karenanya pilihan istilah islah menyeluruh atau terbatas yang diusulkan kubu Ical pun diperdebatkan. Politikus Golkar kubu Agung, Melchias Markus Mekeng tidak setuju dengan istilah islah terbatas, karena substasinya adalah kesepakatan terbatas untuk Pilkada.
Bagi KPU, memang sudah jelas, parpol pengurusnya pasti satu. Kalau putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht) belum dicapai sampai pendaftaran calon, maka kita beri opsi islah. Kepengurusan hasil islah itu kemudian harus didaftarkan pada Kumham untuk mendapatkan legalitas dan kemudian didaftarkan ke KPU. Artinya, PKPU menyatakan bahwa SK Menkumham tidak bisa dijadikan sandaran tunggal, ketika internal partai masih berpolemik. Hal ini ini sesuai dengan PKPU Nomor 9 Tahun 2015 Pasal 36.
Namun demikian, kubu Agung Laksono tetap berkeyakinan Partai Golkar bisa mengikuti Pilkada tanpa melibatkan/membuat kesepakatan kubu Ical, asalkan KPU mau konsisten merujuk kepada undang-undang yang berlaku. KPU dinilai melakukan perbuatan di luar kewenangan jia hanya berlandaskan PKPU, khususnya Pasal 36 ayat 2 dan 3, sebab, dalam Undang-undang Parpol dan Pilkada, partai yang bisa ikut Pilkada adalah partai yang terdaftar di Kemenkumham. Hal itu berarti bahwa SK Menkumham yang sudah dikantongi oleh kubu Munas Ancol sudah cukup untuk memenuhi persyaratan mengikuti Pilkada.
"Itu di luar kewenangan KPU. KPU harus konsisten dengan undang-undang. Dengan keyakinan itu, kita pasti bisa ikut pilkada," ujar Ace Hasan Sadjili. Untuk menyiasati PKPU tersebut, kubu Agung Laksono tengah menjajaki permohonan uji materi ke Mahkamah Agung. Karenanya Ace melihat kesepakatan tersebut adalah soal penghormatan kepada senior Partai Golkar, Jusuf Kalla.
Kini, kesepakatan Pilkada sudah tercapai, namun kedua kubu masih bersitengang untuk mengklaim kepengurusan yang sah baik melalui jalur hukum maupun politik. Artinya, konflik Golkar bisa jadi belum akan berakhir meski Pilkada telah usai. Potensi ketengangan selma Pilkada juga masih terbuka lebar mengingat orientasi politik masing-masing pihak.
Kubu Agung Laksono misalnya ingin berpolitik lebih produktif dengan berkoalisi dengan pengusung pemerintah dan mendukung program pemerintah, sementara kubu Ical sebaliknya. Manuver Munas Bali yang secara jelas mengamanatkan untuk menghapus Pilkada langsung juga akan menjadi penghambat kepercayaan masyarakat, meski pada akhirnya Kubu Ical mau melunak akibat proses politik yang mentok di Parlemen.
Alih-alih menyamakan derap langkah, Pilkada bisa jadi justru menjadi ranah baru yang memperuncing konflik bagi Partai Golkar. Partai Golkar perlu bekerja lebih keras untuk meyakinkan masyarakat bahwa konflik antar elit partai berlogo beringin itu, tidak akan mempengaruhi komitmen besar mereka untuk menyejahterakan rakyat.