===========================================
Jumat, 21 Oktober 2011 pukul 10:34:00
Sepatu Kets Dahlan
Oleh Zaim Uchrowi
Ada yang tak biasa dalam pelantikan menteri baru, Rabu (19/10) lalu.
Seorang dari mereka memakai sepatu kets. Bukan sepatu kulit formal
seperti lazimnya. Siapa lagi sosok itu kalau bukan Dahlan Iskan.
Wartawan yang diamanahi menjadi menteri Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Tentu, bukan karena wartawan ia memakai sepatu kets. Sepatu
jenis itu memang bagian dari ciri khasnya.
Dahlan memang berbeda. Sebelumnya, sudah banyak wartawan lain yang
jadi menteri. Harmoko, misalnya, yang pernah menjadi ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Atau Adam Malik yang menembus kursi wakil
presiden. Umumnya, mereka diangkat karena kewartawanannya. Mereka
mendapat tugas politik menjadi "jembatan komunikasi" pemerintah dan
publik. Dahlan pun sangat mampu memikul tugas itu.
Dulu, ia salah seorang wartawan terbaik Tempo. Kemudian, Dahlan
menyulap Jawa Pos dari koran kecil di Surabaya menjadi kelompok media
terbesar di Indonesia. Kemampuan memimpin usaha yang sulit dibantah
bila disebut 'luar biasa'. Banyak orang bertanya: Mampukah Dahlan
membuat prestasi serupa di BUMN raksasa seperti PLN? Dahlan menjawab
dengan sepatu kets-nya.
Sepatu kets? Benar. Sepatu kets adalah sepatu buat berjalan. Bukan
buat upacara, seremoni, pesta, atau gagah-gagahan. Dengan sepatu itu,
setiap habis Subuh Dahlan berjalan kaki dari rumah ke kantor. Jam
tujuh pagi dia mulai aktivitas di kantor tanpa merasa perlu ganti
sepatu. Baginya, bukan sepatu itu yang menentukan kualitas kerja di
kantor. Apalagi, sepatu itu membantunya untuk pergi ke lapangan. Kerja
yang kadang harus ditempuhnya dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter.
Manajemen Dahlan boleh jadi dapat dikategorikan sebagai 'Manajemen
Posmo'. Praktik manajemen yang tak mau mengikatkan diri pada aliran
manajemen tertentu. Pelaku kajian sosial percaya: Masyarakat
berkembang dari tahap 'tradisional' menjadi 'modern'. Tata nilai dan
budayanya pun mengikuti alur itu. Di arena manajemen dapat pula
dikategorikan sebagai 'manajemen tradisional' dan 'manajemen modern'.
Pada abad ke-20 hingga awal abad ke-21 ini, paham modern begitu
diagungkan. Semua dianggap harus modern. Ekonomi harus modern,
manajemen harus modern, gaya hidup harus modern. 'Kemodernan'
dikukuhkan dengan berbagai atribut. Olahraga ya harus golf, janji
ketemu orang ya harus di Starbucks dan semacamnya, telepon genggam
harus sering ganti mengikuti model terakhir, tas para ibu harus merek
Hermes dan sebangsanya.
Begitu kuat hegemoni modern dalam kehidupan masyarakat. Hingga yang
tak mengikutinya dipandang 'kuno' atau 'ndeso'. Modern seperti
menjajah seluruh sendi kehidupan. Itu menimbulkan rasa muak sebagian
kalangan. Kemarahan terhadap apa yang diistilahkan sebagai 'ekonomi
kapitalistik', 'ekonomi liberal', 'ekonomi neo-liberal' sebenarnya
adalah perlawanan terhadap penjajahan oleh paradigma modern.
Perlawanan serius terhadap 'modern' dilakukan oleh 'Flower Generation'
di akhir 1960-an. Era yang melejitkan nama Jim Morrison (segenerasi
Dahlan) , 'dewa' penolakan Perang Vietnam dengan mempromosikan gaya
hidup Hyppies. Perlawanan pada 'modern' yang paling sukses terjadi di
dunia seni rupa, yang memunculkan istilah 'posmodernisme' atau
'posmo'. Seni tak boleh dalam hegemoni paham modern. Segala bentuk
penjajahan oleh paham modern harus didekonstruksi. Harus
dijungkirbalikkan.
Belakangan kian terbukti bahwa hegemoni paham modern-yang masih
didewakan elite bangsa ini (terutama oleh para ekonomnya)-terbukti
melahirkan kerusakan luar biasa. Bukan hanya pada lingkungan,
melainkan juga pada ekonomi dunia. Bayang-bayang krisis ekonomi
Amerika dan Eropa adalah bukti yang tak terbantahkan. Di Tanah Air itu
ditandai peningkatan ketimpangan ekonomi luar biasa.
Seorang analis yang juga mengelola dana investasi senilai Rp 60
triliun menyebut dua persen penabung memiliki 98 persen jumlah
tabungan di bank. Dengan begitu, 98 persen penabung hanya punya dua
persen dari jumlah tabungan. Ketimpangan itu jauh lebih buruk
dibanding perkiraan umum selama ini 80:20. Ironisnya, itu terjadi di
negeri Pancasila ini.
Dahlan tidak peduli paham apa yang mau dipakai di negeri ini: apakah
tradisional atau modern. Baik untuk mengelola pemerintahan, korporasi,
diri sendiri, maupun buat bermasyarakat. Tapi, sepatu kets-nya memberi
jawaban ke mana dan dengan cara apa bangsa ini melangkah. Deng
Xiaoping terkenal dengan ucapan, "Saya tidak peduli Kucing Hitam atau
Kucing Putih, asalkan dapat menangkap tikus." Menangkap tikus itu
adalah memakmurkan seluruh bangsa.
Sepatu kets Dahlan tampaknya ada di jalur itu. Yang penting kerja,
kerja, dan kerja. Baginya, tradisional dan modern sama saja.
Masing-masing ada kebaikan dan kekurangannya. Maka, tak perlu terjebak
oleh atribut apa pun. Itu ditunjukkan lewat pernikahan kedua anaknya
yang berbeda. Yang satu lewat pesta megah seperti para pejabat
sekarang merasa 'wajib' menempuhnya. Satu lagi pernikahan sederhana
yang biasa. Dalam 'filsafat sepatu kets Dahlan', keduanya sama saja
Dalam filsafat manajemen sepatu kets, aturan, formalitas, bahkan
seremoni tetap penting. Tapi, semua itu tetap harus ditautkan dengan
kerja, kerja, dan kerja. Baru dapat disebut kerja, kerja, dan kerja
bila mampu membuahkan hasil 'sebaik mungkin' dengan waktu 'secepat
mungkin'. Bukan berputar-putar tidak jelas dengan mengatasnamakan
proses dan aturan. Itu wujud ketidakbertanggungjawaban yang dibungkus
lewat rapat demi rapat.
Sepatu kets Dahlan menepiskan perilaku begitu. Itu dibuktikannya di
PLN dengan kerja, kerja, dan kerja dengan mengusung tinggi jimat 'Dua
As'-nya. Integritas dan antusias. Hasilnya, semua tahu bagaimana
kualitas korporasi PLN sekarang. Itu diwujudkannya dalam waktu yang
relatif sekejap, yakni kurang dari dua tahun.
Wajar bila jejak sepatu kets Dahlan pun terlihat oleh Presiden SBY,
yang lalu memintanya menjadi menteri. Yang diperlukan bangsa ini
memang kerja, kerja, dan kerja secara nyata. Sepatu kets Dahlan Iskan
dapat menjadi simbolnya.