Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Sepatu Kets Dahlan (oleh DR. Zaim Uchrowi)

31 Oktober 2011   02:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:16 827 0
Tulisan yang menarik tentang keteladanan  dan etos kerja.....

===========================================

Jumat, 21 Oktober 2011 pukul 10:34:00

Sepatu Kets Dahlan

Oleh Zaim Uchrowi

Ada yang tak biasa dalam pelantikan menteri baru, Rabu (19/10) lalu.

Seorang dari mereka memakai sepatu kets. Bukan sepatu kulit formal

seperti lazimnya. Siapa lagi sosok itu kalau bukan Dahlan Iskan.

Wartawan yang diamanahi menjadi menteri Badan Usaha Milik Negara

(BUMN). Tentu, bukan karena wartawan ia memakai sepatu kets. Sepatu

jenis itu memang bagian dari ciri khasnya.

Dahlan memang berbeda. Sebelumnya, sudah banyak wartawan lain yang

jadi menteri. Harmoko, misalnya, yang pernah menjadi ketua Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Atau Adam Malik yang menembus kursi wakil

presiden. Umumnya, mereka diangkat karena kewartawanannya. Mereka

mendapat tugas politik menjadi "jembatan komunikasi" pemerintah dan

publik. Dahlan pun sangat mampu memikul tugas itu.

Dulu, ia salah seorang wartawan terbaik Tempo. Kemudian, Dahlan

menyulap Jawa Pos dari koran kecil di Surabaya menjadi kelompok media

terbesar di Indonesia. Kemampuan memimpin usaha yang sulit dibantah

bila disebut 'luar biasa'. Banyak orang bertanya: Mampukah Dahlan

membuat prestasi serupa di BUMN raksasa seperti PLN? Dahlan menjawab

dengan sepatu kets-nya.

Sepatu kets? Benar. Sepatu kets adalah sepatu buat berjalan. Bukan

buat upacara, seremoni, pesta, atau gagah-gagahan. Dengan sepatu itu,

setiap habis Subuh Dahlan berjalan kaki dari rumah ke kantor. Jam

tujuh pagi dia mulai aktivitas di kantor tanpa merasa perlu ganti

sepatu. Baginya, bukan sepatu itu yang menentukan kualitas kerja di

kantor. Apalagi, sepatu itu membantunya untuk pergi ke lapangan. Kerja

yang kadang harus ditempuhnya dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter.

Manajemen Dahlan boleh jadi dapat dikategorikan sebagai 'Manajemen

Posmo'. Praktik manajemen yang tak mau mengikatkan diri pada aliran

manajemen tertentu. Pelaku kajian sosial percaya: Masyarakat

berkembang dari tahap 'tradisional' menjadi 'modern'. Tata nilai dan

budayanya pun mengikuti alur itu. Di arena manajemen dapat pula

dikategorikan sebagai 'manajemen tradisional' dan 'manajemen modern'.

Pada abad ke-20 hingga awal abad ke-21 ini, paham modern begitu

diagungkan. Semua dianggap harus modern. Ekonomi harus modern,

manajemen harus modern, gaya hidup harus modern. 'Kemodernan'

dikukuhkan dengan berbagai atribut. Olahraga ya harus golf, janji

ketemu orang ya harus di Starbucks dan semacamnya, telepon genggam

harus sering ganti mengikuti model terakhir, tas para ibu harus merek

Hermes dan sebangsanya.

Begitu kuat hegemoni modern dalam kehidupan masyarakat. Hingga yang

tak mengikutinya dipandang 'kuno' atau 'ndeso'. Modern seperti

menjajah seluruh sendi kehidupan. Itu menimbulkan rasa muak sebagian

kalangan. Kemarahan terhadap apa yang diistilahkan sebagai 'ekonomi

kapitalistik', 'ekonomi liberal', 'ekonomi neo-liberal' sebenarnya

adalah perlawanan terhadap penjajahan oleh paradigma modern.

Perlawanan serius terhadap 'modern' dilakukan oleh 'Flower Generation'

di akhir 1960-an. Era yang melejitkan nama Jim Morrison (segenerasi

Dahlan) , 'dewa' penolakan Perang Vietnam dengan mempromosikan gaya

hidup Hyppies. Perlawanan pada 'modern' yang paling sukses terjadi di

dunia seni rupa, yang memunculkan istilah 'posmodernisme' atau

'posmo'. Seni tak boleh dalam hegemoni paham modern. Segala bentuk

penjajahan oleh paham modern harus didekonstruksi. Harus

dijungkirbalikkan.

Belakangan kian terbukti bahwa hegemoni paham modern-yang masih

didewakan elite bangsa ini (terutama oleh para ekonomnya)-terbukti

melahirkan kerusakan luar biasa. Bukan hanya pada lingkungan,

melainkan juga pada ekonomi dunia. Bayang-bayang krisis ekonomi

Amerika dan Eropa adalah bukti yang tak terbantahkan. Di Tanah Air itu

ditandai peningkatan ketimpangan ekonomi luar biasa.

Seorang analis yang juga mengelola dana investasi senilai Rp 60

triliun menyebut dua persen penabung memiliki 98 persen jumlah

tabungan di bank. Dengan begitu, 98 persen penabung hanya punya dua

persen dari jumlah tabungan. Ketimpangan itu jauh lebih buruk

dibanding perkiraan umum selama ini 80:20. Ironisnya, itu terjadi di

negeri Pancasila ini.

Dahlan tidak peduli paham apa yang mau dipakai di negeri ini: apakah

tradisional atau modern. Baik untuk mengelola pemerintahan, korporasi,

diri sendiri, maupun buat bermasyarakat. Tapi, sepatu kets-nya memberi

jawaban ke mana dan dengan cara apa bangsa ini melangkah. Deng

Xiaoping terkenal dengan ucapan, "Saya tidak peduli Kucing Hitam atau

Kucing Putih, asalkan dapat menangkap tikus." Menangkap tikus itu

adalah memakmurkan seluruh bangsa.

Sepatu kets Dahlan tampaknya ada di jalur itu. Yang penting kerja,

kerja, dan kerja. Baginya, tradisional dan modern sama saja.

Masing-masing ada kebaikan dan kekurangannya. Maka, tak perlu terjebak

oleh atribut apa pun. Itu ditunjukkan lewat pernikahan kedua anaknya

yang berbeda. Yang satu lewat pesta megah seperti para pejabat

sekarang merasa 'wajib' menempuhnya. Satu lagi pernikahan sederhana

yang biasa. Dalam 'filsafat sepatu kets Dahlan', keduanya sama saja

Dalam filsafat manajemen sepatu kets, aturan, formalitas, bahkan

seremoni tetap penting. Tapi, semua itu tetap harus ditautkan dengan

kerja, kerja, dan kerja. Baru dapat disebut kerja, kerja, dan kerja

bila mampu membuahkan hasil 'sebaik mungkin' dengan waktu 'secepat

mungkin'. Bukan berputar-putar tidak jelas dengan mengatasnamakan

proses dan aturan. Itu wujud ketidakbertanggungjawaban yang dibungkus

lewat rapat demi rapat.

Sepatu kets Dahlan menepiskan perilaku begitu. Itu dibuktikannya di

PLN dengan kerja, kerja, dan kerja dengan mengusung tinggi jimat 'Dua

As'-nya. Integritas dan antusias. Hasilnya, semua tahu bagaimana

kualitas korporasi PLN sekarang. Itu diwujudkannya dalam waktu yang

relatif sekejap, yakni kurang dari dua tahun.

Wajar bila jejak sepatu kets Dahlan pun terlihat oleh Presiden SBY,

yang lalu memintanya menjadi menteri. Yang diperlukan bangsa ini

memang kerja, kerja, dan kerja secara nyata. Sepatu kets Dahlan Iskan

dapat menjadi simbolnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun