hizbut tahrir dalam websitenya menjelaskan tentang hukum menikah di bawah umur yang secara serampangan mendasarkannya pada hadist hisyam bin urwah. ini konyol karena dalam tulisan tersebut HT sama sekali mengesampingkan semua pendapat tetang hisyam bin urwah selama di iraq serta proses saling kroscek dengan hadist lain. disamping itu HT dalam artikel tersebut mengsampingkan kategori hadist mu'an'an hanya krena merupakan ilmu baru sehingga tidak bisa dianggap. kategori mua'an'an sering dianggap dalam kategori dho'if, (penjelasan tentang mua'an'an bisa satu buku sendiri). HT tidak menerima penggolongan katgori ini kare ilmu yang belakangan hadir, buat saya ini cara berfikir yang fatal karena tidak semua yang datang belakangn jelek, kategori ini muncul sebagai penyaringan kembali kepada beberapa hadist untuk memurnikan drajat sahih hadist.
untuk itulah dapat diambil kesimpulan walaupun hadist hisyam bin urwah tentang usia pernikahan asiyah bersumber dari sahih bukhari-muslim, tidak bisa diterima begitu saja karena hadist itusangat kontaradiktif.
Hadis mengenai perkawinan Nabi SAW dengan ‘Aisyah sering dijadikan sebagai hujjah bagi orang yang memusuhi Islam dengan tujuan ingin menggugat dan menjelekkan atau membuat stigma dan merusak citra Islam atau orang Islam sendiri yang mengambil advantage (keuntungan) yang hanya bersifat sesaat. Dalil yang digunakan adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah yang menyebutkan bahwa Nabi SAW menikahi ‘Aisyah ketika berumur 9 tahun. Padahal dalam kajian Ilmu Hadis, riwayat dimaksud ternyata kontradiktif dengan riwayat-riwayat lain sehingga sangat diragukan kesahihannya.
Adapun beberapa hadis yang dijadikan dalil mengenai pernikahan dini ‘Aisyah dengan Rasulullah SAW adalah sebagai berikut :
Dari Hisyam bin Urwah dari Aisyah RA berkata: “Nabi SAW menikahiku ketika aku masih berusia enam tahun. Kami berangkat ke Madinah. Kami tinggal di tempat Bani Haris bin Khajraj. Kemudian aku terserang penyakit demam panas yang membuat rambutku banyak yang rontok. Kemudian ibuku, Ummu Ruman, datang ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa orang temanku. Dia memanggilku, dan aku memenuhi panggilannya, sementara aku belum tahu apa maksudnya memanggilku. Dia menggandeng tanganku hingga sampai ke pintu sebuah rumah. Aku merasa bingung dan hatiku berdebar-debar. Setelah perasaanku agak tenang, ibuku mengambil sedikit air, lalu menyeka muka dan kepalaku dengan air tersebut, kemudian ibuku membawaku masuk ke dalam rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu sudah menunggu beberapa orang wanita Anshar. Mereka menyambutku seraya berkata: ‘Selamat, semoga kamu mendapat berkah dan keberuntungan besar.’ Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka. Mereka lantas merapikan dan mendandani diriku. Tidak ada yang membuatku kaget selain kedatangan Rasulullah saw. Ibuku langsung menyerahkanku kepada beliau, sedangkan aku ketika itu baru berusia sembilan tahun.’” (HR. Bukhari dan Muslim).