Pada tahun 1970-an, langkah negara-negara OPEC mengembargo minyak telah mengakibatkan badai krisi energi yang luar biasa. Supply minyak turun dratis, diikuti harga yang semakin menggila. Dari peristiwa tersebut, negara-negara dunia mulai berinvestasi pada sektor EBT atau renewable energy. Hal ini dilakukan demi mengantisispasi adanya krisis energi susulan. Disisi lain, hal tersebut juga dilakukan untuk mencapai greenflation. Memacu pengembangan renewable energy dan mengurangi penggunaan energi fosil.
Investasi dalam sektor renewable energy semakin meningkat. Ditambah dukungan dari regulasi dan kesepakatan tingkat dunia. Tahun 2015, PBB menetapkan 17 SDGs (Sustainable Development Goals) yang satu diantaranya adalah Affordable and clean energy. Diikuti Paris Agreement yang juga membahas transis energi. Hingga yang terbaru adalah G20 2022 yang juga menjadikan isu transisi energi sebagai isu utama. Dari sinilah banyak pihak yang mulai tertarik untuk melakukan investasi masa depan ke dalam sektor renewable energy. Baik dari level negara, perusahaan, hingga warga dunia.
Dari sektor negara, tentu kita bisa melihat Indonesia sebagai contoh. Indonesia sendiri telah mengambil langkah serius dalam urusan investasi di bidang renewable energy. Indonesia telah menargetkan 23% dan 31% pada tahun 2025 dan 2050 listrik yang dihasilkan berasal dari new & renewable energy. Jika dilihat dari data grafik electrical supply plan, tahun 2030 PLTS akan mendominasi sumber listrik di Indonesia. Hal ini dikarenakan energi matahari merupakan sumber energi terbarukan yang paling menjanjikan. Mulai dari posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa sehingga memiliki potensi yang besar, nilai efisiensi yang paling besar diantara EBT lainnya, hingga kehadiran perusahaan-perusahaan global yang mendukung kebutuhan pengembangan PLTS.