Perencanaan proyek pembangunan pulau rempang ECO CITY yang telah di rencanakan sejak 2004 pembangunan pulau rempang akan menjadi Kawasan industri,jasa dan pariwisata yang diharapkan untuk menarik investasi hingga 381 triliun pada tahun 2080 akan mendatang , Proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) tahun 2023 seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional,
 Rencana kegiatan pembangunan kawasan industry di Pulau Rempang menimbulkan konflik utama berupa sengketa kepemilikan lahan antara masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha. Bentrok terjadi akibat ketidakpastian hukum atas tanah, masyarakat menganggap tanah tersebut merupakan warisan yang telah ada sejak dahulu. Sedangkan, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat. Konflik terjadi akibat permasalahan antara lain:
Masyarakat adat Pulau Rempang yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya, telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun, sehingga tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh. Tahun 2001-2002, pemerintah menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah di Pulau Rempang. Namun, tanah tersebut tidak pernah dikunjungi atau dikelola oleh investor.
Kewenangan atas pengelolaan di Batam diatur oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan ,petani Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam). Namun, batas-batas pengelolaan tanah oleh BP Batam dan tanah adat milik masyarakat tidak diuraikan secara jelas hingga menimbulkan tumpang tindih penguasaan tanah.
Warga Pulau Rempang diminta pindah dari lahannya ke Pulau Galang dan telah ditentukan oleh BP Batam. BP Batam awalnya menargetkan relokasi yang melibatkan sekitar 700 keluarga terdampak ini akan selesai pada akhir September 2023. Warga yang sudah turun temurun tinggal di tanah tersebut menolak tawaran pemerintah untuk pindah ke lokasi baru. Bagi warga,tanah tersebut dianggap sebagai tanah adat yang disebut sebagai kampung tua mereka. Pemerintah menawarkan kompensasi untuk rumah tipe 45 senilai 120 juta dan luas tanah 500 m2.
Pemerintah juga akan membebaskan para warga dari biaya sewa rumah selama pembangunan perumahan baru serta memberikan mereka dukungan keuangan sebesar 1 juta rupiah per kepala keluarga per orang. Warga menganggap kompensasi ini tidak memadai dan mengkritik pemerintah karena memutuskan rencana tersebut secara sepihak, dan menolak tawaran tersebut. Kemarahan mereka berujung pada penolakan terhadap rencana investasi dan demonstrasi hingga memicu kericuhan.
Sengketa kepemilikan tanah ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu dan melibatkan masyarakat dalam prosesnya melalui sosialisasi. Pembangunan Rempang Eco City jika mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2021 merupakan rencana kegiatan rempang atau usaha yang wajib memiliki AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL adalah hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Adapun tahap pengerjaan AMDAL dalam prosedur AMDAL salah satunya adalah tahap pengumuman atau sosialisasi melalui konsultasi publik. Tujuannya untuk memberikan masukan tentang perencanaan suatu kegiatan usaha atau pembangunan dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang pengelolaan lingkungan hidup karena kajian mengenai aspek-aspek dan mengalami sosial dalam penyusunan AMDAL wajib digunakan sebagai pertimbangan sebuah dalam pembangunan sebuah proyek.
Pemerintah pulau rempang, pemerintah pusat, dan masyarakat setempat dalam upaya penyelesaian konflik atas pembangunan Pulau Rempang, penting untuk mengadakan dialog dan mencari Langkah - langkah transparansi kepemilikan tanah dan proses pembangunan yang melibatkan masyarakat dapat membantu mengurangi ketegangan. Selain transparansi kepemilikan tanah yang sangat luas, peninjauan ulang untuk pembangunan kawasan industri Pulau Rempang harus dikaji ulang mengingat perubahan kualitas lingkungan dapat mengancam ekonomi masyarakat yang sebagian besar adalah nelayan. Kehadiran pabrik kaca tidak hanya mengancam Pulau Rempang, tapi juga pulau-pulau kecil di sekitarnya. Jika perusahaan ini aktif, diperkirakan kemungkinan besar akan banyak lokasi pertambangan yang dikembangkan di pulau-pulau tetangga yang mengancam wilayah penangkapan ikan nelayan lokal dan keselamatan pulau-pulau kecil tersebut.