Dalam penyelenggaraan siaran televisi, program berita merupakan salah satu jenis ”produk” siaran. Menurut Baksin (2006: 79), dalam hal penyelenggaraan siaran, program berita digolongkan ke dalam jenis karya jurnalistik. Yang dimaksud dengan karya jurnalistik, yaitu produksi acara televisi dengan pendekatan jurnalistik yang mengutamakan kecepatan penyampaian informasi, realitas, atau peristiwa yang terjadi. Program ini sangat penting, dan seharusnya ada pada lembaga penyiaran televisi, terutama lembaga-lembaga penyiaran televisi terestrial karena kegiatan penyiaran dengan cara ini selalu menyangkut penggunaan frekuensi, sumber daya yang amat terbatas yang pada dasarnya adalah milik publik. Oleh karena itu, stasiun-stasiun televisi terestrial sudah sepantasnya memproduksi program berita karena masyarakat berhak mendapatkan berita dan informasi.
Saat ini agaknya terjadi ”tren” penurunan minat pengelola stasiun televisi terhadap produksi program berita. Dalam sehari, dari 24 jam siaran, saat ini stasiun televisi rata-rata hanya menayangkan program berita selama 2,5 jam. Bukan hanya itu, kini jam siaran berita di televisi secara perlahan digeser menuju jam-jam yang sepi penonton. Sebagai perbandingan, jam siaran berita pagi yang pada tahun 2004 ditayangkan mulai pukul 05.30 hingga pukul 07.00 WIB, kini ditayangkan lebih pagi menjadi mulai pukul 04.30 WIB dan berakhir lebih awal pula, yakni pukul 06.00 WIB. Demikian pula pada program berita petang/malam. Di tahun 2004, berita petang/malam menempati slot antara pukul 18.00-19.00 WIB. Namun, kini nyaris tak ada stasiun televisi yang memiliki program berita petang/malam karena jam tayang program berita ini kini telah digeser menjadi sore hari antara pukul 16.00-17.30 WIB. Lebih ironis lagi, jam tayang program berita di banyak stasiun televisi justru memiliki porsi waktu tayang lebih sedikit daripada program infotainmen. Dalam hal ini, pengecualian pada TVRI, Metro TV, dan TVOne.
Hal ini tentu saja dapat dipahami, sebab, bagi pengelola televisi, program berita dinilai tidak banyak mendatangkan cukup keuntungan bagi stasiun televisi bersangkutan. Maka, wajar pula kalau jam-jam yang dulunya dipakai untuk penayangan program berita, kini diisi dengan program-program hiburan. Tentunya, ini tidak lepas pula dari jalan pikiran pengelola stasiun televisi yang kebanyakan menjadikan share dan rating menjadi parameter utama keberhasilan suatu program, mengingat keduanya berbanding lurus dengan perolehan iklan. Lantas, program berita pun coba dijauhkan dari prime time agar dapat diisi dengan program lain yang kiranya akan lebih membantu mempertebal pundi-pundi lembaga penyiaran. Celakanya, langkah ”pengebirian” program berita olehpengelola televisi kini tidak lagi sebatas pemindahan dan pengurangan porsi waktu siar, tetapi sudah mulai menyusup ke dalam meja redaksi.
Untuk lebih mendongkrak share dan rating (serta tentunya jumlah penonton dan pemasukan iklan), utak-atik redaksi pemberitaan terhadap konten program berita pun menjadi halal dilakukan. Akibatnya, esensi berita televisi yang seyogianya memberi informasi kepada masyarakat pun pada akhirnya berubah menjadi menghibur. Di samping itu, redaksi pemberitaan televisi pun dipaksa untuk mengikuti segmentasi dan positioning lembaga penyiaran yang bersangkutan. Sebagai contoh, MNCTV yang memposisikan diri sebagai televisi kelas bawah dan menengah, cenderung untuk menghindari penayangan berita-berita makro, seperti berita politik dan hukum, sementara Trans TV dan Trans7 yang banyak memproduksi program feature, juga lebih suka menampilkan berita-berita ringan, termasuk pula yang tidak memiliki newsworthyness. Berita-berita yang memiliki ”nilai berita yang sesungguhnya”, yang menyangkut kepentingan publik, justru cenderung dihindari oleh pengelolan stasiun televisi. Banyak program berita televisi pada akhirnya justru lebih mirip program feature atau tv magazine daripada program berita. Jaringan televisi B Channel bahkan tidak memiliki program berita.
Kondisi ini tentu saja cukup berbahaya bagi kehidupan demokrasi bangsa. Pers, dalam konteks ini pemberitaan stasiun televisi, yang disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi, tidak akan mampu menjadi watchdog dan kepanjangan mata-telinga publik terhadap jalannya pemerintahan bila kepentingan kapital mendominasi ruang redaksi. Maka, sudah sepantasnya bila pengelola stasiun televisi mengembalikan program-program berita ke ”pakem”-nya yang semula sebagai bentuk ”pengabdian” stasiun televisi terhadap audiensnya (publik). Ini sekaligus juga menjadi bentuk pelayanan stasiun televisi terhadap publik atas penggunaan frekuensi.
Perlu dibangun kesadaran bagi pengelola stasiun televisi bahwa stasiun televisi harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat atas informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab. Di samping itu, perlu pula ditekankan peran lembaga penyiaran dalam mendukung dan mendorong kehidupan berdemokrasi, meningkatkan kesadaran publik, serta mendorong peran aktif masyarakat dalam demokrasi. Televisi oleh pengelolanya sebaiknya tidak secara picik dimaknai sebagai lembaga bisnis dan ekonomi semata, melainkan harus dimaknai pula sebagai lembaga sosial di mana ia juga bisa mendatangkan manfaat bagi publik.