Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

PLN Hanya Mimpi bagi Kami

14 Desember 2013   01:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:57 96 0
Saya baru saja menyelesaikan studi S1 saya di sebuah perguruan tinggi swasta di kota Yogyakarta. Saya berasal dari sebuah kampung di Riau, tepatnya di sebuah desa di kabupaten Rokan Hulu namanya desa Kepayang. Di kesempatan ini saya ingin sedikit bercerita tentang desa saya yang setelah jam 22.00 malam akan menjadi desa gelap gulita seperti tak berpenghuni (seperti tak ada kehidupan).

Jauh hari sebelum saya lahir hingga saya membuat tulisan ini desa kami belum merasakan listrik secara "utuh", karena memang PLN belum masuk ke desa kami. Saat ini memang ada jaringan listrik PLTD (Pembangkit listrik tenaga diesel) yang hanya menyala pada malam hari dari jam 18.00 hingga 22.00. Durasi menyala sekitar 4 jam perhari, jika lebih dari itu banyak masyarakat yang tidak mampu membayar iuran biaya operasional PLTD. Masyarakat membayar iuran antara Rp 35.000-Rp 70.000/KK/minggu, pembayaran bervariasi disesuaikan dengan jumlah perangkat elektronik yang dimiliki. Untuk informasi jumlah kepala keluarga (KK) yang ada di desa kami lebih kurang 150 KK. Biasanya uang iuran yang terkumpul dari masyarakat sekitar Rp 6.500.000 - Rp 7.000.000/minggu  (data dari pengurus PLTD) uang ini digunakan untuk biaya bahan bakar, biaya perawatan, dan biaya gaji pengurus PLTD. Konsumsi bahan bakar mesin diesel 30 l-35 l/jam, untuk semalam dengan durasi menyala 4 jam total rupiahnya Rp 5.915.000 (diasumsikan perjam 32,5 l dan harga BBM solar Rp 6.500/liter, 32,5x4x7x6.500).

Mesin diesel ini merupakan bantuan dari pemerintah kabupaten Rokan Hulu yang pengadaannya diserahkan kepada sebuah perusahaan. Pada awalnya mesin diesel yang akan kami terima adalah mesin diesel yang bermerek caterpillar new dengan spesifikasi tertentu (informasi ini saya peroleh dari kepala desa). Ketika mesin diesel dikirim ke desa kami, yang kami terima adalah mesin diesel  china second dan tidak sesuai dengan spesifikasi. Alhasil mesin ini pada pengoperasiannya membutuhkan biaya bahan bakar yang tinggi (boros) dan biaya perawatan yang tinggi pula (sering rusak). Sebenarnya saya tidak begitu suka mengomentari hal ini, bagi kami memperoleh bantuan seperti ini sudah sangat bersyukur.

Sekitar 2 tahun yang lalu saya berkesempatan berbicara langsung dengan wakil bupati Bapak Hafith Syukri, banyak hal yang saya tanyakan salah satunya, apakah mungkin desa kami bisa mendapatkan listrik secara utuh (PLN). Seperti biasa, hanya jawaban pamungkas diberikan “akan kita (pemerintah) usahakan”. Sudah sejak lama kabar burung bahwa PLN akan masuk ke desa kami, bahkan kabarnya sudah ada dari dinas PU yang datang untuk mengukur titik-titik letak tiang. Kabar ini sudah sejak dahulu kala, kenyataannya hingga saat ini kami merasakan listrik hanya dengan durasi 4 jam perhari selebihnya kami mengandalkan cahaya lampu minyak tanah dan juga cahaya matahari.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun