Semenjak belajar di pondok pesantren, kesempatan saya untuk menyaksikan seniman lapangan hijau hampir tidak ada. Pondok pesantren bukan saja tidak menyiarkan pertandingan akhir pekan dan Liga Champions, tapi lebih dari itu, mereka tidak pernah mengizinkan kami menonton televisi. Televisi adalah barang langka dan ‘keramat’ bagi semua santri.
2006 saya mulai belajar di pondok, dan di sana tidak banyak akses informasi sepak bola. Satu-satunya cara adalah membaca koran dan tabloid yang ditempel di etalase umum.
Pada 2009, saya menjagokan Chelsea untuk meraih trofi Liga Champions sekaligus menebus kekalahan di final musim sebelumnya. Barcelona menanti mereka di semi-final. Setelah bermain tanpa gol di Camp Nou, Barca bertolak ke Stamford Bridge. Saya memang tidak melihat pertandingannya secara langsung. Namun, gol Iniesta di menit-menit akhir membuat saya sakit hati. Lagi-lagi, it wasn’t Chelsea’s moment.
Pertandingan final pun akhirnya disiarkan di pondok tempat saya belajar. Barcelona vs Manchester United di Olimpico Roma. Awalnya, saya sama sekali tidak interest untuk melihat pertandingan final tersebut. Namun, saya ingin melihat kekuatan tim yang mengalahkan Chelsea di semi-final.
Saya cukup terkejut, datang terlambat, Barcelona sudah unggul 1-0 atas Manchester United yang saat itu punya Christiano Ronaldo, pemain terbaik di dunia. Mayoritas teman saya yang menonton ketika itu juga pastilah lebih menjagokan Red Devils ketimbang Los Blaugrana.
Pada saat gol kedua tercipta, saya lebih tersentak. Pemain Barcelona dengan postur sangat kecil (saat itu saya tidak tahu bahwa itu Messi), menyundul bola dengan sempurna melewati tubuh jangkung Edwin Van der Sar. Incredible! Saya tidak pernah menyangka itu akan masuk. Saya lebih tidak menyangka kalau yang melakukan itu adalah Messi!
Sejak saat itu, saya amat tertarik untuk tahu lebih banyak tentang Barcelona. Apalagi musim itu Barcelona meraih treble winner. Sejak saat itu saya tahu dan langsung mengagumi Pep Guardiola, entrenador Barcelona yang di musim pertamanya langsung meraih treble-winner! (Dulu) Saya hampir tidak mengenalnya.
Pep, kembali mengangkat performa Blaugrana setelah tidak mendapatkan satu gelarpun pada tahun 2008. Menggantikan Frank Rijkaard di awal musim, ia diharapkan mampu mengembalikan klub Catalan ke permainan terbaiknya. Hengkangnya Deco dan Ronaldinho memang membuat banyak orang bertanya-tanya. Namun Pep, dengan Messi sebagai ujung tombak serangannya membuktikan banyak hal di musim pertamanya.
Anda mungkin bertemu banyak pelatih hebat. Namun, hal yang sangat jarang anda lihat adalah pelatih debutan yang memenangkan treble winner di musim pertamanya. Itu gila!
Dan itulah Pep. Dia pelatih fenomenal, dan kejutan yang ia buat di musim pertamanya sungguh fantastis! Ia mungkin tidak lebih berpengalaman dari Fergie, tidak lebih jenius dari Mou, namun Pep akhirnya membuktikan kapasitasnya dengan memenangi 13 gelar hanya dalam waktu 4 musim!
Pep, dari Barca untuk Barca.
Kini, tepat di musim keempatnya, Pep memutuskan untuk ‘beristirahat’ dari panggung sepakbola. Empat musim yang fenomenal. Rasanya, saya akan setuju jika ia kembali lagi, suatu saat dan membuat banyak sejarah dalam sepakbola.