Tulisan ini adalah catatan saya pada masa peralihan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden hari ini dari Joko Widodo dan Maruf Amin kepada Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Judul tulisan saya di atas menambahkan dari pernyataan para politisi yang selalu mengatakan bahwa politik itu Dinamis untuk menutupi sikap oportunis mereka. Para politisi juga selalu mengatakan bahwa dalam politik itu tidak ada lawan dan kawan yang abadi, hanya kepentingan yang abadi. Pernyataan bahwa hanya kepentingan itu yang abadi menunjukan bahwa kepentingan merekalah sebagai politisi yang jadi alat ukur pencapaian kekuasaan bagi mereka. Politik bagi para politisi Indonesia adalah membuat kesempatan untuk semata mendapatkan kekuasaan untuk dirinya. Bukankah sikap ini membuktikan bahwa politik (politisi) dinamis dalam mendapatkan kekuasaan dan opportunity nya hanya untuk diri mereka sendiri? Jadi benarlah bahwa politik itu dinamis dan oportunis bagi si politisi.Dinamis juga sangat terlihat, ketika para politisi hidupnya selalu berpindah-pindah "rumah" atau partai politik atau penguasa politik dan mudah berubah memberikan dukungan politik agar mereka para politisi mendapatkan kekuasaan. Sikap seperti inilah yang sering diungkapkan sebagai kelakuan menjadi penjilat kepada yang berkuasa agar si politisi diberi kekuasaan. Jadi memang pernyataan politik itu Dinamis adalah untuk menutupi sikap oportunisnya para politisi Indonesia.
Saya menyimpulkan jadinya politik bagi para politisi Indonesia sampai saat ini sikapnya dinamis (menjilat siapa yang berkuasa) dan sekaligus oportunis agar mendapatkan kekuasaan bagi dirinya sendiri. Akibatnya adalah kondisi negeri dan bangsa Indonesia terus alami kesulitan dan sulit maju karena dunia politik Indonesia lebih dikuasai oleh para politisi yang dinamis dan oportunis.Sedikit sekali politisi Indonesia yang bersih dan memiliki etika politik dalam berkuasa. Inilah masalah berat bangsa Indonesia ke depan, membangun politik yang memiliki etika. Romo Magnis Suseno mengatakan bahwa berpolitik harus memiliki etika politik. Saya mengartikannya bahwa seorang politisi harus memiliki etika, berpolitik bukan hanya untuk semata mendapatkan kekuasaan. Sebagai seorang politisi dalam berpolitik dan berkuasa adalah untuk memenuhi mandat membangun kepentingan dan kesejahteraan umum (rakyat). Seorang politisi dalam berkuasa bukan hanya berkuasa hanya untuk berkuasa bagi dirinya dan kelompoknya. Klise memang membaca sikap yang saya sampaikan ini. Tapi sebagai rakyat kita harus tetap kritis dan mengawasi kerja pemerintah, siapa pun yang berkuasa.Tidak hanya berhenti dan puas ketika telah mendapatkan kekuasaan, untuk dirinya dan kelompoknya saja. Tidak lagi bersikap Kriti dan mendiamkan kekuasaan atau penguasa keluar dari jalan ketika hendak berkuasa. Ketika penguasa keluar dari jalan janjinya berkuasa, si politisi diam saja dan lalu memaki atau menghujat si penguasa yang didukungnya dan memberinya kekuasaan. Untuk hal ini saya banyak tahu dan kenal banyak teman saya, awalnya mendukung dan mendapatkan jabatan kekuasaan dari pemerintahan Joko Widodo. Berbagai alasan mereka menghujat padahal saat awal mereka sebagai politisi atau pendukung mengagungkan tanpa batas kritis Joko Widodo sebagai Presiden. Awalnya pendukung tanpa batas, sekarang menjadi penghujat tanpa batas, alasannya politik itu dinamis. Alasan mereka menghujat karena sudah tidak sejalan dan Joko Widodo menyimpang dari janji dan dukungan awal mereka. Waktu awal mendukung, apa batasan dukungannya? Padahal sebelumnya sering menghantam orang lain yang mengkritik Joko Widodo. Tetapi kok sekarang ikut jadi penghujat Joko Widodo? Berjalannya waktu mereka ada keluar dari lingkaran kekuasaan tetapi ada juga yang tetap di dalam kekuasaan. Mendapatkan kekuasaan bukanlah tujuan tetapi itu adalah jalan yang diberikan agar kekuasaan membangun Sumber foto Tigor