"Azwa, apakah kamu pernah merasa iri kala melihat temanmu yang bisa dijenguk oleh ayahnya?", sekiranya seperti itu lontaran pertanyaan yang cukup sepele namun melekit. Seorang guru yang seharusnya telah dewasa dan mengerti apa itu arti kepekaan. Tidak, air mata ini tak boleh jatuh sedikitpun! aku harus kuat!aku bukan anak lemah gumanku dalam hati. "tidak bu, aku sudah bahagia hidup degan ibuku dan kedua saudaraku, dan terlebih aku masih bisa memanggil pamanku dengan sebutan abi, ayah, dan sebagainya" setelah jawaban yang telah ku lontarkan kemudian aku pamit untuk pergi. Angin menyelimuti rasa sepi, awan menutupi rasa puruk hati, air mancur yang berusaha menenangkan menjadi susasana dini hari. Termenung dengan saksi mentari yang mulai beranjak pergi, lintasan benak hati yang menyatakan "siapa yang ingin menjadi anak yang ditinggal ayah sendiri?".
KEMBALI KE ARTIKEL