Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

(Mestinya) Wali Adat, bukan Wali Nanggroe

4 September 2012   05:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:56 566 0
Perdebatan mengenai ada atau tidaknya qanun tentang Wali Nanggroe terus menjadi perdebatan di Aceh, pro maupun kontra mewarnai dalam setiap diskusi pembahasan mengenainya. Para sejarawan maupun pendukung "trah" kesultanan Aceh memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok pendukung Wali Nanggroe versi GAM yang dilandasi pada pertemuan sigom donya di Stavanger, Norwegia 10 tahun silam.
Baik sejarawan maupun para keturunan Kesultanan Aceh atau keturunan pemegang cap sikureung lambang kesultanan Aceh masa silam, menginginkan adanya pelestarian adat istiadat Kesultanan Aceh sebagaimana tertera dalam berbagai manuskrip sejarah Aceh kuno, sementara kelompok eks kombatan yang saat ini menguasai kursi pemerintahan sejak 2006 lalu menginginkan sebaliknya dengan "memotong" sejarah Kesultanan Aceh masa lalu dengan dimulai dari hasil rapat Sigom Donya 2002. Kerancuan sejarah Aceh yang memang kurang dipahami oleh orang Aceh sendiri bisa jadi penyebab munculnya perdebatan ini. Oleh karenanya timbul pertanyaan, apakah perlu adanya Wali Nanggroe? apa peran dan fungsinya? dan apa sesnsi dari Wali Nanggroe itu sendiri bagi rakyat Aceh?
Dalam Islam, istilah wali adalah bentuk fa’il dari kata wilayah atau walayah, yang kemudian dalam dunia sufi sering disebut dengan wali. Arti wali dapat juga disebut dengan sahabat yang sangat dekat atau kekasih. Sehingga dalam konteks sufisme sering juga disebut aulia (jamak). Dan orang yang dekat dengan Allah disebut dengan aulia Allah. Para waliyallah ini jelas peran dan kedudukannya, yaitu menjadi orang (hamba) yang mengabdikan diri hanya kepada Allah, dan mengasingkan diri dari urusan keduniawian. Dalam sejarah perwalian, maka waliyullah adalah orang yang dikeramatkan, sejak masanya masih hidup sampai telah dimakamkan. Ia terus dipuja dan bahkan sebagian manusia menjadikan makamnya sebagai tempat meminta “wangsit”. Makam Syiah Kuala adalah salah satu bentuk “pemujaan” penziarah terhadap waliyallah yang pernah ada di Aceh. Ia terus hidup dalam hati dan pikiran rakyat. Sementara itu, sejarah Aceh juga menyebutkan adanya Wali Nanggroe hadir di tengah masa-masa perang baik melawan kekuatanPortugis maupun Belanda, dimana kala itu usia Sultan/putra Mahkota Aceh masih kanak-kanak sehingga memerlukan seorang "wali" untuk membantunya dalam menjalankan pemerintahan.
Perlukah Wali Nanggroe?
Dengan adanya keterangan di atas, maka muncul pertanyaan, Perlukah wali nanggroe? Nanggroe secara literatur dapat diartikan sebagai negara atau pemerintahan. Jikalau demikian, muncul pertanyaan susulan, apakah Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang baru saja terpilih secara demokratis April lalu memerlukan bimbingan dan arahan dari seorang Wali Nanggroe? Atau Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang baru lalu belum cukup umur untuk memimpin 5 juta rakyat Aceh? kalau memang perlu maka pertanyaan berikutnya adalah apa peran dan fungsi Wali Nanggroe? Kecurigaan muncul akan adanya kepemimpinan dualisme di Aceh bukan sesuatu hal yang mustahil. Mengingat  otoritas Gubernur sebagai kepala pemerintahan daerah dapat saling tumpang tindih dengan adanya Wali negara ini. Selain itu, gagasan rapat Sigom Donya yang menjadi landasan kelompok eks kombatan GAM juga lemah dari segi hukum dalam penunjukan Wali Nanggroe karena rapat tersebut terselenggara secara terbatas dengan dihadiri sebagaian besar oleh warga negara Swedia, bukan warga Aceh. Kecurigaan lain muncul bahwa pembentukan Wali Nagnggroe ini sebagai bentuk "bagi-bagi kue kekuasaan" di antara para eks kombatan untuk meredam munculnya atau meluasnya "barisan sakit hati."
(Mestinya) Wali adat
Berkaca pada pembahasan di atas, Rakyat Aceh merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di Aceh yang disalurkan melalui lembaga-lembaga demokrasi seperti DPRA dan Gubernur/Wakil Gubernur Aceh sebagai perpanjangan lidah dan tangan rakyat Aceh sehingga setiap tindak prilaku dan kebijakan sudah seharusnya menggambarkan dan mencerminkan kehendak rakyat Aceh, bukan kehendak dan keinginan sebagian orang Aceh yang sedang berkuasa. Jika penetapan Wali Nanggroe oleh DPRA beberapa waktu lalu dengan menunjuk Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe Aceh maka rakyat Aceh atau DPRA seharusnya berfikir, setelah Malik Mahmud meninggal lalu siapa? Bisa jadi Wali Nanggroe bisa ditunjuk siapa saja sesuai dengan partai apa yang menjadi mayoritas di DPRA. Ini rawan dan rentan konflik bahkan perang saudara di masa-masa yang akan datang. Kecuali, apabila peran dan fungsi Wali Nanggroe diganti selayaknya Wali Adat yang betul-betul menjadi figur pemersatu yang berpegang teguh pada adat istiadat Aceh dan menjadikan adat istiadat Aceh sebagai pedoman dalam menjaga dan memelihara budaya keislaman yang ada di Aceh. Hal ini juga sangat baik dalam mendukung tugas-tugas pemerintahan Aceh khususnya dalam menjaga akhlak, adat dan istiadat Aceh sehingga Aceh modern yang islami, maju dan sejahtera dapat terwujud. Saya kira itu impian sebagian besar orang Aceh.
Azada

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun