Menyeruak aroma tanah yang bahagia selepas rekah dihantam kemarau panjang menyiksa
Sementara kau dan aku rebah
Jadi remah
Di antara hujaman rindu, rindu akan keadilan yang menggila
Masih ingatkah kau? Kita berbasah-basah di depan istana, diguyur hujan yang nampak bagai benteng penguasa.
Tapi batang hidungnya tak nampak, sore itu kawan, sampai malam kita menunggu. Hanya untuk meminta penjelasan.
Hujan sore itu tak membasahi kalbu-kalbu kita yang kering kerontang akibat sebuah kebijakan. Memilukan!
Apakah kau ingat kawan? Hujan yang begitu-begitu saja ini, selalu mengingatkanku pada sebuah unjuk rasa sia-sia
Saat kita menolak pulang dan asap-asap menghantam sesak dada kita. Membakar kulit kita, serupa harapan kita yang tak pernah ada gunanya, Sirna.
Hujan itu pula yang membuat bekas di dada kita.
Lantas kita digiring pulang di antara peluh dan putus asa.
Ke mana kita mengadu?
Di bawah langit seakan Tuhan tak punya kuasa, katamu.
Sementara tangis dan doa-doa kita serupa pengganggu bagi nyenyak nya tidur mereka.
Jakarta, Maret 2021