Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Membaca Jakarta Lewat Kacamata Ratih Kumala

28 Februari 2012   09:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:47 388 3
Siapa di sini yang nggak tahu sama Ratih Kumala? Wah, kalau nggak tahu sih ya kelewatan. Ratih Kumala ini sudah beberapa kali menulis untuk kolom cerpen koran dan cerita bersambung, di Kompas dan Republika. Keren bukan? Susah sekali untuk menembuskan tulisan kita ke dua surat kabar ternama itu, karena yang dipilih hanyalah tulisan-tulisan tertentu, dengan nilai sastra tinggi dan kajian budaya yang cukup kental.


Pertama kali yang saya lihat dari buku adalah sampul. Setelah sampul, kemudian sinopsis di bagian paling belakang buku. Setelah itu, barulah saya melihat nama pengarang. Kalau ternyata pengarangnya cukup ternama, saya sudah pasti akan membacanya. Dan ketika melihat sebuah buku dengan gambar yang etnik sekali, saya langsung tertarik. Sinopsisnya pun menarik! Dan yang lebih menyenangkan adalah, penulisnya itu Ratih Kumala.


Saya membelinya. Buku itu adalah buku yang paling keren di antara deretan buku-buku di Bogor Trade Mall. Saya ada di sana karena sudah berjanji pada keponakan, untuk mengajak dia makan di salah satu restoran fast food. Saya berangkat ke BTM bersama keponakan dan si oom-nya keponakan. Hehe. Sebelum makan, saya melihat-lihat toko buku di BTM dan langsung tertarik pada buku itu.
Buku itu berjudul Kronik Betawi. Sebuah kisah keluarga Betawi yang mulai tergeser oleh peradaban Jakarta yang kian pesat. Kisah yang disampaikan oleh tiga orang Betawi, dua lelaki dan satu perempuan. Mereka bersaudara kandung. Di bagian sinopsis, ada potongan-potongan opini dari si tokoh fiktif pada novel ini, yaitu Haji Jaelani, Haji Jarkasi dan Juleha. Mereka sedang berbicara tentang Betawi dan itulah yang harusnya kita ketahui. Bagaimana seharusnya Jakarta. Bagaimanakah Betawi yang sebenarnya.


Selain itu, pada bagian awal novel, terdapat potongan lirik lagu oleh Iwan Fals yang berjudul Ujung Aspal Pondok Gede. Hal ini pernah dibahas pula pada posting-an ini.

Sampai saat, tanah moyangku. Tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota. Terlihat murung wajah pribumi. Terdengar langkah hewan bernyanyi...
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun