Salaman atau saliman dalam konteks budaya Indonesia adalah suatu kegiatan berjabat tangan, biasanya dilakukan ketika seorang anak berpamitan pergi kepada orang tuanya, seorang murid yang bertemu dengan guru dan saudara atau keluarga ketika di jalan, atau ketika seseorang bertemu dengan teman-temannya, secara tidak terencana kita akan mengulurkan tangan untuk mengajak salaman.
Salaman atau saliman sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti “selamat”. Erat kaitannya dengan budaya mengucap salam dalam umat muslim. Dalam pelaksanaannya pun tidak selalu mengucap salam, namun lebih menekankan berjabat tangan sebagai rasa hormat. Sekali lagi di Indonesia, kegiatan salaman tidak melulu selalu diidentikkan dengan orang Islam walaupun berasal dari bahsa Arab. Karena makna salaman sudah dipakai oleh masyarakat umum sebagai milik bersama.
Salaman yang akan penulis bahas dalam tulisan adalah salaman yang disebut orang Jawa sebagai sungkem. Salaman dan sungkem mempunyai persamaan yaitu kegiatan berjabat tangan, bedanya sungkem mempunyai nilai rasa hormat yang lebih tinggi. Sungkem bukanlah berjabat tangan biasa seperti yang dilakukan antar teman atau seseorang dengan seseorang yang derajatnya setara. Namun sungkem dilakukan kepada seseorang yang lebih tinggi derajatnya seperti orang tua, guru atau ustadz/ustadzah. Caranya pun berbeda, sungkem disertai dengan mencium tangan seseorang yang kitasungkemi. Pada saat hari raya Idul Fitri pasti setiap anggota keluarga melakukan sungkeman, entah itu anak kepada orang tua, cucu kepada kakek nenek atau keponakan kepada paman dan bibi.
Pada zaman penulis masih menempuh pendidikan MI (Madrasah Ibtidaiyah -setara SD- ), penulis masih ingat dengan jelas setiap akan masuk kelas dan akan keluar kelas (waktu akan pulang) murid-murid antri berbaris rapi untuk sungkeman kepada sang guru. Jika direnungkan, betapa luhurnya budaya ini, penulis tidak yakin kalau dinegara lain diajarkan budayasungkeman ini sebagai salah satu tata krama di sekolah. Jikalau ada mungkin juga masih tergolong bangsa Asia atau bangsa Timur.
Namun yang penulis sayangkan, semakin kesini budaya sungkemanmulai luntur, atau memang budaya sungkeman hanya diajarkan waktu MI/SD?
Menurut pengalaman penulis, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin langka sekali budaya sungkeman ini. Mulai MTs (Madrasah Tsanawiyah -setara SD-) hingga MA (Madrasah Aliyah -setara SMA-) budaya ini agak jarang, mungkin karena sekolah madrasah, jadi antara murid dan guru yang berbeda jenis kelamin agak menjaga jarak. Namun menurut penulis hal seperti ini bisa disiasati, bisa saja to murid perempuan hanya salaman dengan ibu guru dan begitu juga dengan murid laki-laki hanya salaman dengan bapak guru.
Apalagi ketika menjadi mahasiswa perguruan tinggi di kota besar, budaya sungkeman seperti suatu hal yang tidak penting. Bukan dari segi mahasiswa atau anak didiknya saja yang kurang membudayakan sungkeman, tapi hal yang agak mengecewakan adalah ketika dosen itu sendiri tidak bersedia di sungkemi.
Ada fenomena lucu yang sering penulis temui, sungkeman yang dilakukan mahasiswa kepada dosen biasanya dilakukan berdasarkan alasan tertentu, misalnya saja ketika seorang mahasiswa datang terlambat, untuk menarik hati agar dosen tidak marah mahasiswa sering kali melakukan sungkem agar dosen luluh dan “tidak jadi” memarahi mahasiswa yang datang terlambat tersebut. Mungkin ini salah satu trik yang cerdas, hehe.
Budaya salaman atau budaya sungkeman merupakan budaya Indonesia yang menggambarkan karakter bangsa sebagai bangsa yang menjunjung tinggi rasa hormat dan kasih sayang kepada sesama manusia. Tidak hanya itu, salaman dan sungkeman juga salah satu cara untuk memperertat silaturrahim, persaudaraan dan pertemanan diantara manusia. Semoga tulisan ini memberikan kita pencerahan betapa penting budaya salaman dansungkeman, walaupun kelihatannya sepele namun penulis yakin manfaat dan hikmah dari budaya ini sangat besar dan bermanfaat. :) :)