Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Senja Pantai Selatan

24 Februari 2015   23:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:34 40 2
Semburat pendar jingga masih terlalu terang untuk kita sembunyi dari tatapan cemburu burung-burung laut yang terbang rendah di atas pasir. Gemuruh ombak pun seakan ingin mengusik simfoni merdu yang dinyanyikan sang bayu, tak pula menyamarkan desah nafasmu yang begitu dekat di telingaku, menghembus hangat di tengkuk, membuat seluruh bulu romaku berdiri ....

"Aku takut," bisikmu kala itu.
"Takut?" Kuulang kata-katamu dan merenggangkan punggungku dari dadamu.
"Ya, aku takut tak bisa memilikimu." Kutahu matamu mencari rona tersipu di wajahku ketika kaukatakan itu, dan kau berhasil menemukannya.

Ah, harusnya kau bisa memilikiku kapan saja. Bahkan sekarang, dan seterusnya, selama dompet tebalmu tak berkurang untuk memenuhi segala inginku, mencukupi setiap kebutuhanku. Tapi ..., ada sebuah benturan di batu karang yang berdiri kokoh di hatiku, yang memaksaku menghindar dari hujan rupiahmu, dan aku tahu aku telah menjadi perempuan munafik!

"Aku tak pantas untukmu," tukasku. Perlahan kulepas eratnya genggamanmu, dan berdiri bangkit dari pangkuanmu. Kupandang kelap-kelip cahaya lampu dari kapal nelayan di tengah laut. Ya, sang jingga telah tertutup kabut hitam dan raja pekat perlahan tumpah selimuti bumi.

"Jangan katakan kalimat itu lagi," sanggahmu. Kauraih kembali jemariku dan mendekatkannya di bibirmu.

"Tapi ini kenyataan!" Aku berpaling, mencoba menyembunyikan bulir bening yang mulai menetes dan menganak sungai di pipi tirusku. Namun tetap saja, gemerisik dedaun yang diterpa angin tak mampu samarkan isakku.

"Kau akan tinggalkan dunia hitam itu, dan kita mulai hidup penuh cinta dalam ikatan rumah tangga." Kau begitu yakin dengan impian konyol ini. Ya, bagiku ini konyol! "Aku tahu hatimu tidak mungkin menolak ...."

"Kenapa kau begitu yakin?"
"Karena kutahu kau mencintaiku!"

Cinta? Ah ..., kautahu apa tentang hatiku? Aku terlahir untuk tidak berkompromi dengan hati, apalagi cinta! Tidak! Aku dilahirkan untuk bersahabat dengan tombol-tombol otak yang dikendalikan oleh pahitnya hidup dan masa lalu, bukan naluri dan perasaan!

"Ell, aku tak bisa menerimamu, aku terlalu rendah untuk bersanding dengan seorang pria terhormat sepertimu."
"Kata-kata itu tak pantas kauucapkan," tukasmu.
"Kautahu dari mana aku berasal, dan aku takkan merusak nama baikmu dengan membiarkanmu menikahiku!
"Apanya yang salah?"
"Masa laluku," jawabku pasti.

Kutahu kautulus dengan kasihmu padaku, namun semua itu hanya membelenggu hidupku dan hidupmu. Aku tak ingin dikenal sebagai perempuan matre seperti apa yang diucapkan salah seorang sepupumu. Aku pun tak ingin menjadi seorang wanita liar pembawa sial yang dituduhkan seorang sahabatmu. Setidaknya untukmu, aku tak ingin kau masuk lebih jauh di hidupku. Berhentilah. Bangunlah dari tidur lenamu!

Harus kuakui, kau memiliki segala yang kuidamkan dari seorang pria. Harta, tahta, kedudukan, nama baik, tampang bagus, murah hati, pengertian, perhatian, apa lagi? Tapi justru kesemuanya itu menjadikanku sadar bahwa aku telah terperangkap oleh rasaku sendiri, dan itu tidak boleh terjadi! Cinta itu hanya mainan, ia ibarat api, dan aku tak ingin terbakar!

"Persetan apa kata orang," katamu, "kita yang menjalani, bukan orang lain!"

Kenapa kau begitu keras kepala? Apa yang kautahu tentangku? Beban hidupku? Kautahu, dunia menyanyi yang kubenci ini menjanjikan hari-hari indah untuk keluargaku. Dengan sedikit rayuan gombal tentunya, demi mendapat 'saweran lebih'. Dan aku lebih memilih langkah salah ini demi menghidupi anak dan keluarga daripada harus menikah denganmu di bawah tekanan batin; cemoohan keluargamu yang tetap memandang hina, dan memanglah aku hina. Lepas dari itu, aku mencintaimu, dan tak ingin membebani hidupmu dengan melabuhkan seluruh tanggung jawabku padamu.

"Jangan menghubungiku lagi ...," pintaku. Tak kulihat purnama malam ini. Aku berlari meninggalkanmu yang mematung dengan segala kekecewaan yang kuberi. Kususuri pantai yang tak bertepi ini, mencari di mana letak ujung hatiku yang menyembunyikan trauma akan cinta. Ingin kuhancurkan ia dan menempatkanmu di ruang terindah di sana, meski kau takkan pernah bisa kumiliki.

"Bila ada yang bisa membuatmu lebih bahagia, apapun itu, pergilah. Tapi bila kau menilaiku pantas untukmu, hati ini takkan pernah tertutup untukmu ...." Kalimat terakhirmu itu membuatku membencimu, dan aku tak tahu kenapa. Biarlah senja pantai selatan tetap menjaga rasaku ....
**** **** ****
*Tamat*

Feb 2015

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun