Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Debat Cagub DKI: Ketika Hati Bicara

17 September 2012   09:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:20 1782 5

Apa film kesukaan Anda? Film kesukaan kami adalah MacGyver, sebuah film serial televisi produksi tahun 1985-1992. Film tersebut mengisahkan tentang petualangan seorang tokoh bernama MacGyver (diperankan oleh Richard Dean Anderson), seorang jenius yang bekerja di bawah Yayasan Phoenix. Di tiap seri, selalu ada petualangan baru bagi sang jenius, yang kemudian berhasil menangkap penjahat dan mengatasi permasalahan berkat kecerdasannya dalam menggunakan bahan-bahan yang tersedia di sekitarnya untuk melawan para penjahat.

Ciri khas dari seorang MacGyver adalah bahwa dia sangat menjauhi penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan, termasuk penggunaan senjata. “Senjata” yang menjadi ciri khasnya hanyalah sebuah pisau lipat berwarna merah. Dia juga adalah orang yang “ngotot,” kalau bukan dibilang nekat, dalam upayanya untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Sebagai contoh, ia tidak menyerah dengan nasib buruk yang sedang mendatanginya (mis. bom waktu), melainkan berupaya untuk “menjinakkan nasib buruk” tersebut.

MacGyver juga adalah orang yang sangat sosial. Jika ada yang membutuhkan bantuan, dia akan membantu dengan segenap hati. Ia melibatkan dirinya dalam kehidupan orang-orang yang dibantunya. Dia berteman dengan siapa saja dengan tulus, mulai dari atasannya di yayasan Phoenix yang bernama Pete Thornton, hingga keluarga kulit hitam, Colton bersaudara, yang berprofesi sebagai pemburu bayaran.

Oya, kebetulan sekali film yang lama tak diputar di sini itu sedang diputar oleh salah satu stasiun televisi lokal Jakarta, O Channel, setiap Senin-Jumat pukul 8 malam. Bagi saya, film ini memberikan nilai pendidikan yang jauh lebih baik daripada tayangan-tayangan di televisi lain pada jam tayang utama (prime time) yang sama.

Nah, saya percaya bahwa semalam, jutaan mata pemirsa menatap layar Metro TV pada jam-jam prime time tersebut. Termasuk kami, tentu saja, yang buru-buru beranjak dari rumah makan begitu mendapati bahwa jam di dinding menunjukkan hampir pukul tujuh. Bukan untuk menyaksikan film MacGyver, tentu saja, melainkan untuk melihat “aksi” Jokowi dan Ahok, “MacGyver-MacGyver” dari Solo dan Belitung, dalam acara Debat Terbuka Cagub DKI.

Sama seperti ketika menyaksikan MacGyver, kami sudah tahu bahwa 99% hasilnya adalah kemenangan bagi kubu Jokowi, sama seperti MacGyver yang hampir pasti bisa mengatasi semua rintangan di tiap seri. Bagaimanapun juga, kami tetap penasaran untuk menyaksikan bagaimana cara “tokoh protagonis” memetik kemenangannya. Tantangan apa yang harus dihadapi? Kecerdikan seperti apa yang diperagakan untuk mengatasi tantangan tersebut? Kami tak hanya ingin tahu hasilnya, tetapi kami juga ingin tahu bagaimana prosesnya.

Dan, seperti yang sudah kami duga, Jokowi-Ahok mengungguli Foke-Nara, baik dari segi penyampaian, maupun dari substansi pernyataan. Yang agak mengganjal adalah Najwa Shihab selaku salah satu moderator yang cukup sering memotong penjelasan dari kandidat. Mungkin dia lupa, bahwa acara semalam bukan acara “Mata Najwa” yang biasa digawanginya.

Jokowi dan Ahok menunjukkan kualitas dan kompetensi mereka dalam menjawab beberapa pertanyaan terkait problema Ibukota. Meski ada beberapa pengamat yang mempertanyakan implikasi lapangan dari ide yang disampaikan, seperti “rumah deret” ala Jokowi ataupun “puskesling on call” ala Ahok, setidaknya mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki konsep yang jelas dan bisa diukur. Lagipula, bukankah baik Jokowi ataupun Ahok dikenal masyarakat karena berhasil mengimplementasikan apa yang dianggap mustahil oleh semua orang?

Jokowi berhasil “menggeser, bukan menggusur” ribuan pedagang kaki lima tanpa pengerahan Satpol PP (baca: kekerasan) dan tanpa pemaksaan. Para pedagang tersebut bahkan memindahkan barang dagangan mereka secara sukarela. Bagaimana dengan Ahok? Ia berhasil menerapkan sebuah sistem asuransi kesehatan untuk semua penduduk Belitung Timur. Di sana, tidak ada istilah “orang miskin dilarang sakit” seperti yang ada di daerah-daerah lain.

Saya tidak hanya melihat pemaparan yang lugas dan substansial dari kedua pasangan tersebut, namun lebih dari itu, hati mereka yang benar-benar tertuju kepada rakyat, khususnya masyarakat miskin. Sesungguhnya, memang hanya pemimpin dengan hatilah yang bisa memberikan solusi permasalahan masyarakat secara langsung, tidak berbelit-belit atau banyak prasyarat.

Sungguh berbeda performa yang ditunjukkan oleh pasangan Foke-Nara. Banyak waktu terbuang hanya untuk menyindir pasangan lawan. Jawaban-jawaban yang disampaikan juga cenderung normatif, untuk tidak mengatakan mengambang. Berulangkali Foke menyindir Jokowi dengan menekankan bahwa menyelesaikan permasalahan di Jakarta tak cukup hanya dengan kata-kata atau retorika, yang tak lebih merupakan pencitraan saja (saya tidak tahu apakah dia mengalami “konflik batin” waktu mengatakan itu).

Nara bahkan lebih “mengenaskan.” Dua kata maut yang diucapkannya (“haiya” dan “sipit”) ketika menyapa Ahok merupakan pernyataan bunuh diri. Untung saja Ahok menanggapinya dengan santai, meski beberapa pendukung Jokowi-Basuki  yang hadir di studio sempat tidak terima dengan guyonan yang tidak lucu tersebut dan membuat sedikit kegaduhan. Belum lagi pertanyaan yang diajukannya kepada Ahok merupakan isu lama mengenai “kutu loncat,” yang dijawab Ahok dengan lugas dan “mengena.”

Secara keseluruhan, sebenarnya agenda debat yang hanya menanyakan satu permasalahan kepada salah satu kandidat dan memberikan pertanyaan berbeda kepada kandidat lainnya itu kurang begitu memuaskan. Meski demikian, tetap saja ada hal-hal baru yang belum muncul di debat-debat sebelumnya, seperti bagaimana Foke yang ketika disela oleh Ahok menyatakan bahwa kalau dengan Nara, Ahok boleh “kurang ajar,” tapi tidak dengannya. Dia bahkan tidak menganggap Nara sebagai sosok yang layak dihormati. Tidak heran, Prijanto “tidak betah” menjadi Wakil Gubernur dan ingin mundur.

Layaknya seorang MacGyver, kedua kandidat “kotak-kotak” tersebut berhasil mengatasi tantangan yang ada di hadapan mereka dengan pilihan kata yang cerdik, dan membalikkan serangan lawan menjadi serangan yang mematikan. Satu lagi, unsur “keberuntungan” juga penting, baik dalam film MacGyver maupun dalam debat Cagub semalam. Emosi Foke yang masih meledak-ledak dan ungkapan bernada rasis yang dilontarkan Nara tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi Jokowi dan Ahok.

Meski demikian, ada satu pertanyaan akhir dari moderator yang sulit dijawab oleh “MacGyver Solo,” yakni ketika kedua calon gubernur diminta untuk saling memuji kelebihan masing-masing. Meski Jokowi memiliki beragam prestasi, hal itu tak menyurutkan Foke untuk menyerang pesaingnya tersebut, yakni dengan mengatakan bahwa dia perlu belajar lebih banyak tentang pencitraan kepada Jokowi. Berbeda sekali dengan Jokowi, yang harus berputar-putar dengan menyebut masa jabatan Foke di Pemda DKI, sebelum akhirnya mengatakan bahwa setidaknya Foke memiliki banyak rencana meski belum dilakukan.

Walau agak mengecewakan, jalannya debat Cagub semalam makin memperjelas gambaran mengenai kedua pasangan Cagub. Bagi saya, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang hatinya benar-benar tertuju kepada orang-orang yang dipimpinnya, bukan sekedar andal dalam memaparkan visi-misi-strategi. Prasyarat itu saya dapati pada pasangan nomor urut tiga, yakni Jokowi dan Basuki, MacGyver-MacGyver yang akan menata ibukota dengan segenap hati!

-----------------------

Ikuti @Tweetspiring

-----------------------

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun