Sungguh sedih rasanya ketika saya membaca tampilan SMS dari pihak sebuah sekolah kepada orang tua murid, yang menyatakan bahwa penerimaan putri mereka di sekolah tersebut dibatalkan. Apalagi, pembatalan tersebut dilakukan hanya karena pihak sekolah "mengakomodir" keinginan beberapa orang tua calon murid lain yang menolak diterimanya sang anak. Dari sudut pandang ini, pihak sekolah jelas salah, karena mendasarkan keputusannya untuk menerima atau menolak calon murid berdasarkan desakan pihak-pihak tertentu (baca: orang tua calon murid yang lain). Sebagai institusi pendidikan, sekolah semestinya independen dan tak terpengaruh oleh desakan beberapa orang tua calon murid. Imi, demikianlah calon murid yang terancam batal sekolah tersebut biasa dipanggil. Tetapi mengapa muncul penolakan tesebut? Setelah saya telusuri lebih lanjut melalui timeline di akun Twitter si orang tua murid, terungkap bahwa ayah dari Imi adalah pengidap HIV positif. Konon, sekolah meminta surat keterangan hasil tes HIV Imi, mengingat HIV bisa ditularkan melalui kelahiran. Sang ayah, menurut kicauannya di Twitter, menganggap permintaan itu adalah bentuk diskriminasi, sehingga ia menolak untuk memberikan apa yang diminta oleh pihak sekolah. Nah, karena penolakannya untuk memberikan surat keterangan sebagai bukti bahwa Imi tidak mengidap HIV itulah, kemungkinan desakan orang tua makin menguat dan pihak sekolah menuruti "suara terbanyak." Banyak dukungan yang mengalir di Twitter kepada @fajarjasmin selaku ayah Imi. Semua mengatakan bahwa sekolah telah melakukan ketidak adilan kepada Imi. Saya pun demikian. Akan tetapi, menurut saya ada yang perlu kita pikirkan bersama di sini, sebelum menentukan untuk mendukung perjuangan sang ayah yang berencana untuk menuntut pihak sekolah agar menerima kembali Imi. Untuk melakukannya, kita mungkin perlu memandang dari berbagai sisi. Pertama, dari pihak sekolah. Mungkin saja, pihak sekolah merasa kebingungan karena ini adalah "kasus" pertama mereka, di mana calon murid ditolak keberadaannya secara terang-terangan oleh orang tua calon-calon murid yang lain. Jika dilihat dari keterangan @fajarjasmin, pihak sekolah sepertinya sudah berusaha untuk mengupayakan jalan terbaik agar Imi bisa tetap bersekolah dan penolakan para orang tua murid mereda. Setidaknya, pihak sekolah telah meminta dokumen resmi yang menyatakan bahwa Imi "tidak berbahaya" bagi calon teman-temannya nanti. Yang berikutnya, dari pihak orang tua calon murid yang lain. Bisa jadi, mereka hanya kurang mengerti mengenai seluk beluk apakah itu HIV, termasuk cara-cara penularannya. Yang jelas, jika Imi terkena HIV, tentunya mereka mengkhawatirkan "nasib" anak-anak mereka. Anak-anak SD tak jarang melakukan kontak fisik, yang bisa jadi membuat anak-anak mereka tertular. Mungkin kemungkinan untuk itu sangat kecil, akan tetapi jika anda adalah orang tua, anda tahu sendiri kan, betapa "protektif"-nya orang tua terhadap anak-anaknya? Lalu, kita juga perlu mempertimbangkan perkembangan psikologis Imi, seandainya perjuangan sang ayah berhasil, dan pihak sekolah "dengan berat hati" menerima Imi kembali bersekolah. Seorang Tweep (baca: pemakai Twitter) pernah mengungkapkan bahwa sekalipun Imi diterima, ia pun akan mendapat "diskriminasi terselubung" dalam kesehariannya di sekolah. Sang ayah hanya menjawab bahwa ia setuju, namun menambahkan, "Tapi mungkin di situlah anak saya akan belajar soal kehidupan." Saya tidak tahu "kehidupan" seperti apa yang ingin sang ayah ajarkan kepada anaknya dengan "calon" lingkungan bergaul yang jelas tidak kondusif tersebut. Tidak bisakah Imi belajar tentang kehidupan di sekolah lain yang lebih "toleran" terhadapnya? Yang saya takutkan adalah, Imi akan besar dengan stigma dari teman-teman sebaya (dan orang tua mereka!), bahwa ia memiliki ayah yang "berdosa" (di mata mereka), lalu membenci ayahnya. Perkembangan kejiwaan seperti apa yang bisa kita harapkan dari lingkungan seperti itu? Menurut hemat saya, sebaiknya Imi tidak usah disekolahkan di sekolah tersebut. Energi yang ada sebaiknya digunakan untuk mencarikan sekolah yang baik untuk sang buah hati, bukan menceburkan diri dalam sengketa hukum yang biasanya berlarut-larut seperti itu. Pihak sekolah juga semestinya menyikapi hal ini dengan bijak. Perlu diingat, Imi masih berada dalam taraf pendidikan dasar, yang notabene sangat krusial bagi perkembangan anak. Saya tidak tahu apa yang membuat sang ayah terinfeksi HIV, akan tetapi isu HIV ini tak bisa dipungkiri merupakan isu yang sensitif, baik bagi penderita, masyarakat, bahkan keluarganya. Meski ribuan kampanye telah dilakukan untuk memberikan pemahaman bahwa HIV tidak mudah menular, kebanyakan orang masih saja tidak mudah menerima pengidap HIV sebagai "bukan ancaman." Saya mengakui, posisi si Imi maupun ayahnya dilematis, tetapi bukan berarti tanpa solusi. Seandainya saya berada dalam posisi sang ayah, saya akan mendaftarkan Imi ke sekolah lain, atau memanfaatkan program "home schooling" yang cukup berkembang di Jakarta (meski "home schooling" sendiri memiliki kekurangan tertentu). Bagaimana dengan anda? Apa yang akan anda lakukan jika berada dalam posisi ayah Imi? ==== sumber:
Timeline akun Twitter
@fajarjasmin
KEMBALI KE ARTIKEL