Aku termasuk orang yang sungkan untuk meminta tolong, apalagi meminjam uang, meski kepada teman sendiri. Sambil berjalan pulang menyusuri lorong sekolah, aku mengaku salah kepada Tuhan, karena telah lalai mengelola uang yang Ia percayakan. Waktu itu, tarif anak sekolah untuk naik angkot sebenarnya cukup murah, hanya seratus rupiah. Akan tetapi, apa daya, uangku benar-benar habis tak bersisa.
Dua kelas sudah kulewati waktu itu, tinggal satu kelas lagi untuk kemudian menyusuri halaman depan sekolah dan sampai di jalan raya. Seseorang memanggilku dari belakang, suaranya terdengar asing. Akupun menengok, ternyata teman dari temanku, jadi kami sebenarnya kurang begitu akrab.
"Ada apa?" Tanyaku.
"Ini," katanya, sambil mengulurkan selembar uang ribuan kepadaku.
"Apa ini?" Tanyaku lagi, penasaran.
"Dulu aku kan pernah pinjam uangmu, ingat kan?" Jawabnya mengingatkan.
Aku mencoba mengingat-ingat kembali, berusaha menggali memori. Maklum, aku ini agak pelupa.
Ah, akhirnya aku ingat. Memang, waktu itu aku sedang hendak pulang, ketika temanku memanggilku karena temannya-yang sedang mengulurkan uang kepadaku itu-membutuhkan seribu rupiah. Ketika itu aku sedang ada uang lebih, sehingga kupinjamkan saja sebagian uangku sejumlah yang ia butuhkan, tentunya dengan harapan segera dikembalikan.
Tahukah kamu, kapankah aku meminjaminya uang? Waktu kami masih kelas satu!
Jadi, kira-kira setahun sudah berlalu sejak ia meminjam uangku, dan ajaibnya, ia mengembalikannya tepat ketika aku membutuhkan uang untuk ongkos pulang.
Aku segera teringat salah satu kalimat agung yang disampaikan dalam kitab Pengkhotbah: "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya." Tuhan adalah Penguasa atas sejarah. Tak ada satu hal pun terjadi tanpa pengaturan-Nya, meski itu adalah hal kecil seperti yang aku alami.
Pengaturan-pengaturan-Nya itu tentunya bukan tanpa tujuan, melainkan agar setiap orang belajar tentang Dia (kuasa, karakter, dsb.) dan bertumbuh serupa denganNya.
Dari peristiwa yang kualami itu, aku belajar untuk mempercayai pemeliharaan Allah, bahkan sekalipun Dia berhak untuk tidak melakukannya karena ketidaktaatanku. Aku belajar komitmen Allah yang tetap dan tak tergoyahkan, apapun yang terjadi.
Sampai saat ini, kenangan seribu rupiah itu selalu menjadi penanda yang kuat bagiku, bahwa aku selalu bisa mengandalkan Allah untuk setiap masalah, dan bahwa aku bisa selalu percaya, bahwa Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya!