"Apa itu, Nyet?" tanya si burung hantu.
"Oh," sahut monyet, sambil menunjukkan seekor ikan yang menggelepar sekarat di atas rumput, "aku baru saja menolong ikan ini," sambung si monyet dengan wajah gembira dan bangga.
Si monyet kemudian berkata, "Tadi hampir saja ikan ini tenggelam, untung saja aku melihatnya dan segera menyelamatkannya."
Kisah fabel di atas sangat menarik, karena kita semua tahu bahwa apa yang dilakukan si monyet sebenarnya kontra-produktif dengan tujuannya. Tujuan si monyet jelas mulia, yakni menyelamatkan nyawa sesamanya, akan tetapi justru dengan menarik ikan itu dari air, yang terjadi adalah sebaliknya.
Hal serupa juga seringkali terjadi di dalam kehidupan kita. Sebut saja para teroris dan afiliasinya yang dengan tujuan mulia hendak menyenangkan hati Tuhan dengan cara-cara yang mereka mengerti, akan tetapi sesungguhnya dengan menghilangkan sekian banyak nyawa sesamanya, saya percaya kita semua yang berpikir sehat setuju, bahwa Tuhan sama sekali membenci apa yang mereka lakukan.
Dalam hal kebangsaan, SBY juga mungkin memiliki tujuan yang mulia untuk menegakkan demokrasi "hitam-putih" seperti yang ia ketahui, yakni demokrasi yang diajarkan di bangku sekolah. Akan tetapi, sayangnya, kebijakan dan pernyataannya mengenai keistimewaan Yogyakarta seperti tindakan si monyet yang hendak memindahkan ikan dari habitatnya.
Masyarakat Yogyakarta sejak dahulu hidup dan berkembang dalam suatu pola kemasyarakatan yang unik, yang secara akademis disebut sebagai monarki. Memang, menurut pelajaran, posisi monarki setara dengan demokrasi. Mungkin inilah yang kemudian ditangkap SBY sebagai sistim pemerintahan yang bertabrakan dan tak mungkin disinergikan.
Nah, dengan itikad yang saya percaya (baca:harap) baik, Pemerintah ingin menegakkan pilar-pilar demokrasi yang utuh di Indonesia (kecuali, tentunya, Aceh, Jakarta, dan Papua); namun sayangnya, apa yang digagas oleh Pemerintahan SBY bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta merupakan upaya untuk mencabut mereka dari tata kehidupan harmonis yang selama ini mereka jalani.
Setali tiga uang dengan Pemerintah Pusat, Pemda DKI pun mengeluarkan kebijakan yang menurut saya kontra-produktif dengan tujuannya dibentuk, yakni mengusahakan kesejahteraan masyarakatnya. Sebagaimana diketahui bersama, tahun depan Pemda DKI akan mengenakan pajak "restoran" kepada warung-warung makan kecil seperti warteg atau warung makan padang (bukan yang bermerek "Sederhana" tentunya).
Sebagaimana logika yang saya paparkan di dalam tulisan saya sebelumnya, yang juga diperkaya dengan tanggapan-tanggapan dari rekan Kompasianer lainnya, pungutan pajak tersebut justru akan makin memperberat beban pelaku ekonomi marjinal dan karyawan-karyawan biasa yang menjadi pelanggan warteg, yang kebanyakan berasal dari sektor swasta, yang tidak mendapatkan kenaikan gaji, apalagi remunerasi.
Saya pikir sudah saatnya burung hantu yang bijak bertindak. Ikan harus diselamatkan, dan monyet harus dinasehati agar bertindak lebih bijak, sehingga lain kali ia tidak membahayakan nyawa sesamanya. Jika si monyet nakal atau bandel setelah berulangkali dinasehati, rantai atau kerangkeng mungkin dapat membantu. Setuju??