Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Diam Itu Benar-benar Emas!

1 Desember 2010   15:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:07 246 1
"Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid." (Yes. 50:4)
Aku tergolong orang yang cerdas, namun tidak jenius. Kecerdasanku hanya sedikit di atas rata-rata saja. Mungkin kecerdasanku ini merupakan faktor keturunan, mengingat nenekku (ibu dari ayahku) dulunya seorang guru. Ibuku juga bisa saja menjadi seorang guru, jika saja beliau tidak terlalu cepat menikah dengan ayahku (pastilah aku akan menjadi lebih cerdas dan lebih muda sekarang ini, jika kedua orang tuaku tidak buru-buru menikah). Kecerdasan itu, yang jelas, juga faktor kegigihan kedua orang tuaku untuk mendukung perkembangan otak anak pertama mereka. Sejak balita ibu sudah mengajariku membaca dan ayah sering membelikan majalah-majalah anak. Oleh karenanya, aku selalu percaya bahwa membaca itu mencerdaskan (termasuk membaca tagihan-tagihan, karena hal itu akan mendorong proses kreatif kita dalam mencari solusi).

Kecerdasan dan latar belakang keluarga yang secara sosial juga di atas rata-rata serta pengenalan yang kurang mendalam tentang Tuhan membuatku menjadi sombong, congkak, angkuh, dan semacamnya. Begitulah, kesombongan mulai menyeruak dalam hatiku, mengisi sudut-sudut tergelapnya. Kesombonganku itu biasanya tersamarkan dengan istilah mulia, "Harga Diri." Berbekal harga diri itulah aku tumbuh, menjadi sosok remaja yang memandang rendah orang lain. Dalam pergaulan, aku dikenal sebagai sosok yang sarkastis, alias suka menyindir--biasanya melalui lelucon--orang lain dengan perkataan-perkataan yang tajam, pahit, dan seringkali menyakitkan (meski sebagaian besar kulakukan tanpa sadar). Tiap kali ada acara "pesan dan kesan" di dalam persekutuan, (keluhan) itulah yang selalu disampaikan teman-teman kepadaku. Namun aku tetap saja seperti itu.

Aku terus membawa kata-kata pedas itu di manapun aku berada. Kebiasaan itu didukung dengan instingku yang kuat akan bahasa. Kesempatan berkuliah di fakultas sastra semakin meruncingkan lidahku untuk menyakiti hati orang-orang di sekitarku, terutama mereka yang tidak termasuk golongan orang-orang yang kusukai. Aku tak pernah kehabisan kata dan ide untuk melakukannya. Bahkan karena hal itu sudah menjadi gaya hidup, banyak orang yang seringkali terluka hatinya oleh perkataanku--tanpa kusadari. Hingga suatu saat aku membeli sebuah buku karangan Larry Crabb yang berjudul "Dorongan Semangat." Melalui buku itulah aku belajar bahwa dorongan semangat itu sangat penting bagi semua orang. Aku masih ingat sepenggal kisah yang dibagikan Arswendo di dalam acara ngobrol bareng beberapa waktu lalu, bagaimana ia memamerkan jam tangan sekaligus hadiah lomba menulis yang pertama pada ibunya. Ibunya memberikan tanggapan yang kelak membentuk kepercayaan diri pada seorang Arswendo untuk menulis, "Kamu pantes pakai jam itu, cocok kamu jadi penulis."

Sayangnya buku itu sudah tak bersamaku, karena kuberikan pada seseorang dulu. Ketika aku beranjak ke toko buku, ternyata stok terakhirnya sudah laku. Namun yang jelas, ingatan tentang buku itu masih membekas. Melaluinya aku belajar, bahwa lidah itu sangat penting untuk dikendalikan. Aku belajar, bahwa aku juga bertanggung jawab atas setiap perkataan yang terucap dari mulutku, termasuk perkataan yang menyakitkan dan menjatuhkan semangat orang lain. Sebagaimana yang tertulis dalam kitab Yesaya di atas, aku selalu berdoa sejak saat itu agar Tuhan memberikan "lidah seorang murid" kepadaku. Aku ingin memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Aku belajar untuk mendengar terlebih dahulu sebelum mengeluarkan pernyataan, dengan tujuan agar perkataanku muncul dari empati, bukan sekedar reaksi spontan seperti biasanya. Aku belajar untuk mengekang lidahku agar tidak sembarangan mengeluarkan kata-kata. Itulah sebabnya aku sekarang lebih banyak diam, lebih banyak mendengarkan.

Diam. Sepertinya itu adalah kegiatan yang mudah dilakukan, tapi untukku tidak mudah sama sekali. Aku lebih suka berbicara. Aku lebih suka menyampaikan pendapat dan pemikiranku daripada mendengarkan orang lain. Oleh karena itu, diam merupakan sebuah perjuangan tersendiri bagiku. Bagiku, diam itu benar-benar emas, sangat mahal harganya, dan sungguh susah mendapatkannya. Namun pengalaman demi pengalaman makin meyakinkanku bahwa memang diam itu terkadang perlu. Adakalanya hatiku melonjak-lonjak hendak membujuk pikiran untuk memerintahkan lidah berbicara tentang suatu perkara, namun aku belajar untuk menahan diri, untuk mengekang lidah. Dan benarlah, ternyata fakta-fakta yang muncul kemudian membuatku bersyukur bahwa aku tak jadi melampiaskan kata hatiku ke luar. Dengan perspektif yang baru, aku jadi lebih bisa menyampaikan pendapat yang objektif. Syukurlah.

Kata-kata yang telah diucapkan tak bisa ditarik kembali. Telinga-telinga sudah terlanjur mendengarnya. Kata-kata pedas, hinaan, atau hujatan, hanya bisa ditutup dengan kata-kata maaf, namun itupun tak bisa menutup seluruh luka yang ditimbulkannya. Karena itulah, aku selalu berdoa agar lidahku senantiasa mengeluarkan perkataan yang menguatkan, bukan melemahkan. Aku senantiasa berdoa pula agar lidahku mengeluarkan perkataan yang menyejukkan, bukan memprovokasi. Suatu hari di masa-masa membaca buku itu, terciptalah sebuah lagu doa:

"Give me the tongue of a true disciple
To give encouragement to the unable
Teach me to say what I need to say in time

For I am too weak even to keep my tongue
I am too weak even to keep my tongue
So teach me, Lord, to say what I need to say in time."



(Pasar Baru, 2010)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun