Suatu kali dikisahkan bahwa sebuah desa mengadakan pesta besar-besaran di balai desa yang berlangsung sampai larut malam. Keesokan paginya, seorang penduduk desa yang hendak pulang ke rumahnya setelah pesta besar itu mendapati anjing sang kepala desa mati tergeletak di pinggir jalan. Mulut anjing itu mengeluarkan busa seperti gejala keracunan. Tanpa pikir panjang, penduduk desa tersebut segera kembali ke balai desa untuk menceritakan apa yang dilihatnya. Karena malam sebelumnya anjing itu ikut menyantap sisa hidangan yang disajikan pada pesta desa, si saksi mata itu langsung saja mengatakan pada kepala desa, bahwa anjingnya telah mati keracunan makanan yang mereka makan semalam. Demi mendengar berita tersebut, spontan semua orang yang masih di situ langsung merasa mual dan pusing luar biasa. Beberapa mulai muntah-muntah dan jatuh lemas ke tanah. Berita tersebar ke seluruh desa, bahwa makanan pesta semalam mengandung racun dan telah menyebabkan kematian anjing kepala desa. Ketakutan melingkupi seluruh desa. Seluruh penduduk merasakan gejala yang mirip: rasa mual dan sakit kepala. Namun syukurlah, tak lama kemudian ada warga lain yang datang tergopoh-gopoh sambil meminta maaf pada kepada desa karena tadi pagi ia tak sengaja menabrak anjing kepala desa itu namun karena terburu-buru hendak ke pasar, ia tak sempat melihat keadaan anjing malang tersebut. Barulah sepulang dari pasar ia mendapati bahwa anjing tersebut telah mati. Kisah di atas menunjukkan bahwa ketakutan itu menular. Setuju atau tidak, penulis berpendapat bahwa menularkan ketakutan itu jauh lebih mudah daripada menularkan keberanian. Jauh lebih mudah untuk menebar teror daripada menebar rasa aman. Hal ini wajar dan manusiawi, karena kita semua pada dasarnya adalah penakut. Bali membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk menarik kembali wisatawan, pasca peristiwa tragis yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu itu. Beberapa waktu yang lalu, masyarakat juga sempat digemparkan dengan adanya SMS dengan huruf merah, yang konon penerima SMS itu akan meninggal segera setelah membacanya. Kemudian ada lagi berita--entah benar atau tidak--tentang sosok menakutkan yang disebut "Kolor Ijo". Istana pun sepertinya tak lepas dari gejala ketakutan yang menular ini. Sebagaimana kita ketahui bersama, "Bapak" kita yang satu ini gemar sekali menuturkan isi hatinya kepada publik, termasuk hal-hal yang menurut beliau patut untuk diwaspadai (baca: ketakutan-ketakutannya). Ketakutan beliau beragam, mulai dari ancaman pembunuhan, target terorisme, sampai rencana kudeta/penggulingannya dari tampuk kekuasaan. Ketakutan yang terakhir inilah yang sedang ramai dijadikan wacana di berbagai lapak diskusi. Pertemuan beberapa tokoh nasional di gedung PP Muhammadiyah untuk membicarakan kondisi bangsa semakin menambah kadar ketakutan Pemerintah akan isu penggulingan yang belum jelas kebenarannya itu. Kemarin, ketakutan "sang Bapak" ditularkan kepada kader-kader partainya dalam kesempatan HUT partai. Alhasil, mengemukalah sebuah pernyataan yang unik dari mas Anas, ketua partai pengusung "sang Bapak" dalam menanggapi isu tersebut. "Partai Demokrat berpikiran, bahwa pikiran yang melawan aspirasi rakyat, hasil Pemilu harus disadarkan. Tindakan inkonstitusional harus dilawan, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan penegakan hukum yang berlaku dan adil," demikian disampaikannya. Dalam kalimatnya tersebut, tercerminlah ketakutan-ketakutan bahwa "sang Bapak" sedang menghadapi ancaman nyata impeachment, meski ada bantahan tentang hal tersebut dari tokoh yang mengikuti perhelatan di gedung PP Muhammadiyah. "Saya berpikir pertemuan itu tidak ada kaitannya dengan wacana untuk menggulingkan pemerintah," demikian kata Marzuki kepada detikcom, Selasa (12/10/2010). Jelang tanggal 20 Oktober yang merupakan "ulang tahun" pertama kabinet 2009, tentulah berbagai pihak yang peduli dengan kondisi bangsa ingin ikut memberikan sumbangsih bagi kebaikan bersama, salah satunya melalui kritik dan saran kepada pemerintah. Sayangnya, seperti penduduk desa yang ada di cerita di atas, pihak istana seringkali terburu-buru memberikan tanggapan, dan seringkali menanggapi itu semua secara negatif. Mas Anas menyatakan juga bahwa "Berbeda dengan wacana penggulingan, pemerintah akan mendengar bila yang disampaikan adalah kritik." Namun faktanya, kritik yang disampaikan kemudian disalahartikan sebagai upaya penggulingan, jadi pernyataan Mas Anas itu seperti "angin surga" saja bagi para pemerhati bangsa yang ingin menyampaikan saran dan kritiknya. Sebenarnya secara pribadi penulis berpendapat bahwa pimpinan yang tak bisa mengatasi ketakutannya dan bahkan menularkan ketakutannya kepada bawahan-bawahannya, sebenarnya tidak siap untuk memimpin. Bagaimana bisa beliau akan membawa senyum di wajah Indonesia, jika wajahnya sendiri lebih sering tertekuk karena tertekan menghadapi berbagai ketakutannya? Bagaimana beliau bisa mengarahkan perahu bangsa ini ke depan jika matanya masih sering memandang kanan-kiri dan bukannya ke depan? Mungkin sang Bapak butuh "bertapa" sebentar (atau "retreat" dalam istilah nasrani) atau bertemu dengan psikiater untuk mengatasi ketakutan-ketakutannya. Suatu kali dalam sebuah kisah pertempuran legendaris, raja Saul yang menjadi panutan bangsa Israel justru ketakutan ketika Goliat maju menantang bangsa Israel dalam duel satu lawan satu. Hasilnya? Selama 40 hari seluruh barisan Israel dilingkupi ketakutan yang luar biasa, hingga akhirnya datanglah Daud yang masih muda, yang kemudian berhasil mengalahkan Goliat dan mengembalikan kembali keberanian dan rasa percaya diri pasukan perang Israel. Semoga "Bapak" kita sekarang ini tidak seperti raja Saul yang mudah digentarkan oleh pernyataan penantangnya dan menyeret seluruh bangsa ke dalam lingkaran ketakutannya. Semoga. [caption id="attachment_292956" align="alignnone" width="300" caption="sumber gambar: www.freeuni.edu.ge"][/caption]
KEMBALI KE ARTIKEL