Betapa tersentaknya hati saya ketika melihat tayangan awal acara Jakarta Lawyer's Club malam ini. Syaukani, koruptor yang mendapat grasi demi alasan kemanusiaan karena menderita stroke di rumah sakit, ternyata kondisinya mulai membaik. Bahkan, dokter-dokter di sana menyatakan bahwa dalam waktu seminggu mantan Bupati itu sudah boleh pulang. Hah? Serta-merta kegelisahan dalam hati itu saya unggah dalam bentuk status di akun Facebook saya. Berbagai tanggapan dari teman-teman mulai mengalir, hingga berujung pada tanggapan teman yang kebetulan seorang dokter: "Setahuku selama aku pegang pasien stroke,ga mgkn sembuh ato membaik dgn tiba2.. Krn stroke sifatnya kronis n cenderung permanen,jd kalo membaik pun butuh waktu lama.. Ada2 aja cara membodohi masyarakat kita yaa... Tp Tuhan kan ngga tidur.. :)" Hah? Dengan demikian, tak berlebihanlah kiranya jika saya menyatakan bahwa obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan pasien stroke adalah grasi. Tentunya, obat ini hanya berlaku pada pasien stroke yang dipandang berhak dan layak menerima grasi dari Sang Kepala Negara kita, yaitu: (1) sedang menjalani pidana, terutama korupsi, karena koruptorlah yang empunya hubungan paling dekat dengan negara mengingat status terdahulu mereka sebagai pejabat publik dan (2) menunjukkan bukti-bukti bahwa ia benar-benar tidak bisa sembuh, agar mendapat simpati dari bapak Presiden maupun bapak Menteri. Dunia ini memang panggung sandiwara seperti yang dikatakan oleh God Bless. Saya pernah tahu mantan bupati yang juga terpidana kasus korupsi. Dia mengaku uangnya sudah habis sehingga tak mampu membayar denda maupun uang pengganti seperti yang telah ditetapkan pengadilan. Namun anehnya, dia bisa sewaktu-waktu keluar dari pintu penjara dengan berbagai alasan, termasuk menjenguk anaknya yang sedang sakit di rumah. Ketika "sakit" pun, dia dirawat di kamar VIP yang mematok harga 800 ribu rupiah per malam! Hah? Segala sesuatu yang terpampang di hadapan kita semua ini takkan terjadi seandainya hukum tidak menjadi komoditi. Pasal-pasal yang dibuat untuk mengatur penegakan hukum pun hanya akan menjadi barang dagangan, selama para penegak hukum sampai ke tingkat eksekutif masih belum mentas dari mental calo yang hanya mengejar uang dan uang saja. Inilah kira-kira motto para penjahat tingkat tinggi itu: "Tak ada kejahatan yang sempurna, kecuali kita tahu celahnya." Hah? Melihat kejadian-kejadian seperti ini, bisa-bisa kita semua kena stroke!
KEMBALI KE ARTIKEL