Penggalan syair sebuah lagu yang pernah tenar di kalangan anak muda terngiang di telinga saya: "Mau dibawa ke mana hubungan kita? Jika kau terus menunda-nunda dan tak pernah nyatakan cinta? Lagu ini menceritakan tentang seorang pemuda yang gundah hatinya karena gadis yang dia cintai belum juga memberikan tanggapan yang pasti. Pemuda ini merasa telah memberikan segala sesuatu demi sang pujaan hati, namun si gadis tak juga menjawab cintanya. Saudara-saudaraku, hari ini sang Pancasila seolah menanyakan hal yang sama kepada kita semua: "Mau dibawa ke mana hubungan kita?" Pancasila telah melewati lorong sejarah yang sangat panjang dan berliku, hingga akhirnya ditetapkan sebagai dasar negara kita. Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta: "Panca" yang berarti lima, dan "Sila" yang berarti prinsip atau azas. Soekarnolah yang pertama kali mencetuskan kata tersebut, ketika berpidato di hadapan sidang BPUPKI tanggal 1 Juni, 65 tahun yang lalu. Rumusan awal beliau, yakni "Kebangsaan", "Internasionalisme", "Mufakat", "Kesejahteraan", dan "Ketuhanan," kemudian "diperbaiki" dalam Piagam Jakarta, lalu dalam Pembukaan UUD 1945. Setelah itu masih ada upaya-upaya untuk merumuskan Pancasila kembali, namun rumusan yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itulah yang masih kita pakai sampai sekarang. Pancasila diramu dari nilai-nilai luhur yang sudah ada di kebudayaan bangsa kita sejak dahulu. Artinya, kelima sila tersebut adalah nilai-nilai asli kita, bukan falsafah impor. Melaluinya, kita berkaca dan menemukan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi keragaman, toleransi, kemanusiaan, musyawarah, dan rasa keadilan. Akan tetapi, apakah yang sedang terjadi di tengah kita saat ini? Nilai-nilai luhur Pancasila yang telah setia sekian lama menaungi kita dan pendahulu kita, sekarang bagaikan pemuda yang "digantung" cintanya. Kita ini layaknya si gadis yang diceritakan dalam lagu di atas, bersikap setengah-setengah, tidak memberikan kepastian cinta. Kita mengaku ber-Pancasila, namun kata dan tindakan kita tidak menunjukkan hal yang sepadan. Tengok saja kasus-kasus perusakan tempat ibadah yang masih terjadi di negeri ini. Bagaimana mungkin kita, sebagai bangsa dengan beragam agama, mengaku ber-Ketuhanan Yang Maha Esa jika antarumat beragama sendiri saling menyerang? Relakah Tuhan melihat manusia-manusia yang Dia berikan kehidupan, justru saling menyerang dan membinasakan? Belum lama berselang, kita dikejutkan oleh peristiwa yang terjadi di Koja, Jakarta Utara. Mata kita bisa jadi tak tahan melihat orang-orang itu memukuli sesamanya yang terkulai tak berdaya, sampai mati. Inikah cerminan "kemanusiaan" kita yang dikatakan "adil" dan "beradab" itu? Sungguh, keberadaban kita telah mundur begitu jauh, sampai ke zaman barbar! Tak hanya itu, kita juga pasti ingat perang etnis Dayak-Madura di Kalimantan antara Desember 1996 sampai dengan Januari 1997. Tak hanya korban jiwa yang begitu banyak, peristiwa itu masih menyisakan trauma mendalam bagi mereka yang selamat. Di manakah rasa persatuan kita sebagai bangsa Indonesia? Untuk apakah para pendahulu kita mengikrarkan persatuan dalam Sumpah Pemuda jika kita sebagai penerus mereka justru mengingkarinya? Di Senayan, "markas" para wakil rakyat, keadaan tak jauh berbeda. Setiap orang mementingkan dan memperjuangkan kepentingan kelompoknya sendiri. Berbagai insiden pemukulan pun tak jarang terjadi. Otot lebih dikedepankan daripada otak. Mungkin itu sebabnya almarhum Gus Dur pernah menyebut mereka sebagai "Taman Kanak-kanak." Rakyat makin sulit mendapati "hikmat" atau "kebijaksanaan" di "Balai Kerakyatan" yang megah itu. Sementara itu, pejabat dan pengusaha korup tak pernah ambil pusing dengan yang namanya rasa "keadilan sosial." Bagi mereka, yang penting dapur tetap mengebul, tak peduli rongga perut yang lain. Mereka telah mengabaikan nasib jutaan rakyat yang harus berjuang keras, hanya supaya tetap hidup. Kita mungkin sudah muak dengan berbagai kasus korupsi yang bertaburan di negeri ini. Para koruptor seolah menutup nurani mereka, sehingga tak pernah merasa bahwa harta haram yang mereka miliki adalah hasil mencuri. Lihat saja bagaimana seorang pengusaha meramaikan puteranya dengan gegap gempita, sementara rakyat yang menjadi korban "cipratan" lumpurnya terbiarkan merana. Rasa keadilan sosial itu pun luntur bersama lumpur. Wahai, rakyat Indonesia, tetapkanlah hatimu sekarang juga. Nyatakanlah kepada Pancasila, apakah engkau sungguh mencintainya. Jika memang mencintainya, tanamkanlah dalam-dalam kelima nilai luhur Pancasila itu di hatimu. Mari saling menghargai dan menghormati kebebasan beragama, mencintai kemanusiaan, mengikat persatuan, mengejar hikmat dan mengutamakan musyawarah, serta memperjuangkan keadilan bagi masyarakat Indonesia. Ingatlah, Pancasila itu telah diperjuangkan sedemikian rupa oleh para pahlawan kita. Jangan biarkan Pancasila terus bertanya kepada kita: "Mau dibawa ke mana hubungan kita?"
KEMBALI KE ARTIKEL